Harta Karun Bapak

Pada awal 2021, saya memutuskan kembali ‘pulang’ ke rumah saya di Bekasi, rumah yang saya diami waktu kecil. Pasalnya, sebelum pandemi Covid-19, pekerjaan dan kegiatan saya lebih banyak berbasis di Jakarta sehingga saya memutuskan untuk indekos di area dekat kantor atau menumpang tinggal di rumah para tante yang relatif lebih strategis secara jarak maupun akses transportasi untuk beraktivitas. Dengan begitu, saya pun jadi jarang tinggal di rumah Bekasi dalam durasi yang panjang. Namun, berhubung pandemi membuat saya lebih banyak beraktivitas di dan dari rumah, maka saya pikir, mungkin saya bisa kembali ‘menghidupi’ rumah di Bekasi. Ditambah, 2020 menyajikan perjalanan naik-turun emosi yang cukup biadab bagi saya, sehingga ‘pulang’ ke Bekasi menjadi opsi untuk memperlebar ruang menyendiri.

Berhubung sudah cukup lama saya tidak menempati rumah tersebut, tentunya ada hal-hal yang baru saya sadari dan kenali lagi keberadaannya, meski sebenarnya selalu ada di situ. Salah satu yang paling mencolok adalah cukup banyak koleksi buku Bapak, sampai-sampai di tiap ruangan pasti ada saja lemari buku.

Saya menyadari betapa berjaraknya saya dengan aktivitas membaca buku pada sekian puluh tahun terakhir hidup saya. Alias malas. Namun, melihat buku-buku itu, seperti ada magnet yang radarnya kembali menyala. Mulai dari sekadar membaca judul-judulnya, melirik-lirik sampulnya, sampai melihat nama-nama yang familier tapi ternyata saya belum pernah menyentuh karya-karyanya.

Satu pengalaman menarik adalah keisengan saya mengambil sebuah buku berjudul Pembunuh Isteri (Pustaka Jaya, 1979), yang ternyata adalah terjemahan dari novela Крейцерова соната (Kreitzerova Sonata) tahun 1889 karangan Leo Tolstoy. Yang ternyata lagi, diterjemahkan dari Bahasa Rusia oleh Moh. Tadjuddin. Yang ternyata lagi, ilustrasi sampulnya dibuat oleh Nashar. Yang ternyata lagi, naskah terjemahan tersebut merupakan salah satu program Dewan Kesenian Jakarta tahun 1976 untuk menerjemahkan karya sastra dunia. Serta ada ternyata-ternyata lagi lainnya, yang rasanya, saat menemukan itu di rak buku Bapak, seperti menemukan harta karun.

Foto: Koleksi Pribadi

Lalu teringat bagaimana Bapak, di satu sisi suka mengeluh saat sedang tidak punya uang cukup, tapi di sisi lain, selalu saja tetap membawa tentengan berupa buku dari Galeri Buku Bengkel Deklamasi milik Jose Rizal Manua, saat kami dulu suka janjian di Taman Ismail Marzuki (TIM). Pernah satu kali, ia bercerita baru saja menyembunyikan buku incarannya di sudut yang kiranya tidak akan dijamah orang, karena ia ingin membelinya tapi sedang tidak ada uang. Atau ketika saya baru saja membeli sebuah buku, lalu dia bilang, “Lho, saya kan sudah punya itu.”

Alhasil, atas pengalaman-pengalaman itu, dan mungkin kerinduan saya ingin menulis lagi apapun itu, maka saya berniat untuk mengumpulkan kembali pengalaman-pengalaman menarik lainnya menelusuri harta karun Bapak. Saya ingin mencoba mencatat dan mengumpulkan koleksi buku Bapak (agar tidak double lagi membeli buku yang sudah ada) sehingga mungkin saja suatu saat nanti juga bisa bermanfaat buat orang-orang selain kami, sekaligus ingin berbagi ke-norak-an saya. Pada saat ini, saya cukup senang karena masih bisa norak sehingga harapannya bisa terus semangat menemukan hal-hal baru atas sesuatu yang sudah lampau, setidaknya bagi saya sendiri.

Tulisan-tulisan seputar itu akan mulai mengisi blog ini. Saya harap nantinya bisa mendapat respons berupa pengetahuan-pengetahuan lainnya terhadap buku-buku tersebut yang mungkin luput dari amatan dan keterbatasan pengetahuan saya. Semoga konsisten!


Semua buku yang tercatat dalam kategori Harta Karun Bapak, dapat dibaca di tempat, yakni di rumah saya di Bekasi. Jika ingin membaca, jangan sungkan bertukar sapa atau hubungi saya melalui formulir di bawah untuk mengatur waktu berkunjung. Terima kasih.