Surealis itu Skripsi

Selama 21 tahun sekian bulan saya hidup, selain pengalaman-pengalaman skip saya akibat bentuk fisik otak saya yang tidak 100%, pengalaman paling surreal bagi saya adalah pengalaman menyelesaikan skripsi. Menyelesaikan skripsi menjadi proses yang kalau saya ingat-ingat lagi, akan selalu bikin saya heran bagaimana proses itu bisa saya lewati. Ibaratnya putus dari pacar, mengerjakan skripsi itu adalah fase move on-nya. Waktu ngejalanin kok rasanya nggak selesai-selesai, gak tuntas-tuntas, tapi tanpa dirasa-rasa dan disadari, tau-tau sudah selesai, sudah sidang, dan lalu sudah mau diwisuda.

Mungkin yang bikin pengalaman mengerjakan skripsi saya jadi surreal adalah karena saya terlalu meremehkan dan menganggap enteng proses mengerjakan skripsi. Entah ini alibi atau tidak, tetapi bagi saya, proses mengerjakan skripsi yang ‘apa adanya’ menjadi bentuk protes saya dengan sistem kampus yang juga sangat ‘apa adanya’ dalam menyiapkan kami mengerjakan skripsi dengan baik. Pikir saya, berhak apa kampus menuntut kami membuat skripsi yang ideal jika toh mereka juga nggak berhasil ‘mengajar’ kami secara ideal? Yang kemudian membuat saya berpikir, bahwa kami akan jadi sarjana lulusan S1, tapi dalam mata kuliah-mata kuliah sebelumnya, kami tidak dibiasakan berpikir sistematis, analitis, atau pola berpikir yang dibutuhkan seorang peneliti atau akademisi. Namun, kami lebih cenderung disiapkan membuat program TV yang handal, menulis berita yang baik, dan hal-hal lain yang lebih cocok untuk bekal sebagai pekerja media.

Atas dasar itu lah, saya tidak mau membuat skripsi yang muluk-muluk agar bisa selesai lebih cepat. Namun ternyata, untuk membuat skripsi yang ‘asal-asalan’ saja ternyata tetap butuh waktu. Jadi, di saat detik-detik terakhir pengumpulan skripsi, saya diprediksi tidak bisa menyelesaikan skripsi tepat waktu sehingga akhirnya saya diharapkan untuk bisa ‘legowo’ menerima bahwa saya mungkin bisa tidak lulus tahun ini (padahal jarak pengumpulan skripsi terakhir dengan waktu wisuda masih ada sekitar 3,5 bulan). Dan ada cerita lain lagi tentang bagaimana saya melewati detik-detik menyedihkan itu.

Yang tadinya saya rencanakan bisa lulus 3,5 tahun, gagal. Yang tadinya saya rencanakan bisa lulus tepat waktu dengan menyelesaikan skripsi seadanya dengan ngebut, gagal. Yang saya bayangkan saya bisa membuat skripsi yang “saya banget”, gagal. Yang tadinya saya bayangkan saya masih punya uang tabungan sekitar 2,5 juta karena masih ada sisa uang beasiswa saya yang belum kepakai, gagal, karena saya harus bayar biaya SKS semester baru. Semua yang saya prediksikan dan bayangkan tentang lulus dari kampus ini dengan riang, ternyata sangat berlainan dengan kenyataannya.

Image

Namun, hanya butuh waktu sekian hari untuk akhirnya saya kembali melanjutkan dan menyelesaikan skripsi saya. Mungkin, yang bikin proses mengerjakan skripsi ini menjadi begitu surreal adalah saya merasa begitu sendirian saat mengerjakannya. Bukan karena saya tidak punya pasangan yang bisa nemenin mengerjakan skripsi (walaupun pernyataan teman saya, Windu, bahwa kita lebih butuh pendamping dalam mengerjakan skripsi daripada pendamping pas wisuda, terasa benar bagi saya), tapi karena saya berada di gelombang yang berbeda dengan teman-teman saya. Di saat teman-teman saya sibuk bimbingan dan kesana kemari mencari referensi buku, saya lagi ada kerjaan lain. Di saat teman-teman saya sudah tinggal mengerjakan abstraksi, saya baru mau mulai mencari konsep-konsep teori. Ketika teman-teman saya sudah boleh teriak lega, saya baru merasakan skripsi terbawa mimpi. Ketika teman-teman saya sudah mencari kerja, saya masih mencari waktu untuk bimbingan.

Jadi, di saat teman-teman cenderung mengisolasi diri dan menyerahkan hampir sekian minggunya untuk begadang, bimbingan secara intens, saya masih bisa mengerjakan skripsi sambil diselingi menonton film atau teater. Apalagi dosen pembimbing saya bukan orang yang bisa diajak bimbingan intens setiap hari. Kemudian, ketika saya mengumpulkan skripsi (saya tidak tahu kalau hari itu adalah deadline pengumpulan skripsi gelombang pertama di semester baru), tidak ada kepanikan-kepanikan juga rasa lega yang luar biasa. Atau, sehari sebelum sidang, saya masih sempat menonton pertunjukkan teater dan baru menyiapkan materi H-sekian jam (salah bawa bahan skripsi pula, ternyata). Di mana ketika sidang, saya bisa merasa begitu ngantuk sehingga begitu ngelantur dalam menjawab pertanyaan penguji. Yang ketika dinyatakan lulus, saya cuma bisa teriak “faaaaak” atau perasaan ingin teriak “aaaaak” sebagai konsekuensi kebingungan, “Sudah lewat, nih?”. Seperti ada sesuatu di luar saya yang menggerakkan badan saya, mulut saya, otak saya, sedangkan saya sendiri merasa selama ini hanya tidur saja. Bahkan saya heran kenapa saya nggak kepengen mengganti status BBM saya dengan “S. I. Kom” pakai smiley dan lain-lain. It’s so fucking surreal.

Pada akhirnya, mungkin ini seperti pernyataan Robert Frost yang pernah dikutip seorang teman di status BBM-nya, bahwa “the best way out is always through it.” Dan syukurlah, dari pengalaman paling surreal ini, ada begitu banyak dukungan dan kasih sayang yang saya rasakan dari orang-orang terdekat, dan bahkan sekalipun sama yang tidak dikenal. Jadi, rasa syukur ini bukan sekedar karena saya berhasil melewati, tapi bersyukur karena saya dikelilingi orang-orang baik hati luar biasa ketika melewatinya :)

Oktober 22nd, 2012.

Satu respons untuk “Surealis itu Skripsi

Tinggalkan komentar