It’s okay to forget, but I’ll try my best to remember

Tetiba ingin nulis tentang melupakan dan mengingat, tapi ternyata empat belas tahun lalu sudah pernah dan sempat menuliskan hal serupa di sini. Meski kalau dibaca-baca lagi kayak.. ya gitu, deh. Mungkin keinginan menulis soal ini didorong rasa takut dilupakan sehingga menuliskannya bisa jadi sebuah cara untuk mengatasinya.

Beberapa tahun ini, self-worth saya agak hancur, yang setelah dipikir-pikir lagi sebenarnya merupakan pola yang berulang dari waktu kecil, masa-masa sekolah, dan juga masa-masa kuliah. Dengan kondisi saat ini yang sudah agak lebih ‘kalem’–meski terkadang masih kumat juga–saya cukup bisa melihat diri saya belakangan ini menjadi orang yang penuh amarah, terlalu sensitif, dan take all things too personally. Merasa diri sebagai korban, yang sebenarnya tergerogoti pikiran sendiri. Meski saya tidak merasa kekecewaan saya invalid, tapi cukup sadar bahwa saya terlalu emosional dan tidak rasional dalam menghadapi atau mengatasinya.

Namun belakangan saya menyadari, sangat mudah mengidentifikasi dan menghitung orang-orang yang ada di sekitar saya ketika saya sedang berada di titik rendah (kalau bukan yang terendah), tapi kerap lupa ketika saya sedang baik-baik saja. Mungkin juga karena saya hanya bisa tampak ‘rapuh’ di hadapan segelintir orang-orang ini. Senyaman itu keberadaan mereka ketika saya sedang kesulitan, tetapi ketika hal-hal sudah lebih terkendali, menghabiskan waktu dengan mereka tidak selalu menjadi pilihan. Bahkan terkadang saya kebingungan ketika mereka sedang tidak terlalu baik-baik saja, kebingungan bagaimana ‘hadir’ untuk mereka, saking terbiasanya mereka yang selalu ‘hadir’ untuk saya.

Meski terkadang saya tidak selalu paham pola pikir ayah saya, sekarang saya baru bisa paham mengapa ayah saya cukup ngoyo untuk berkunjung ke satu keluarga yang tergolong keluarga jauhnya setiap kali lebaran. Karena baginya, sosok si Paman ini sebagai salah satu (kalau bukan satu-satunya) orang yang membantu ia dan keluarganya saat ia masih kecil, dan sedang mengalami persoalan.

I’m still figuring out things (ya sampai kapan pun juga masih bisa berlangsung sih) dan meski mengukur kualitas dan kapasitas ‘perkawanan’ memang tidak selalu berdasarkan ‘kehadiran’ (karena nggak ada kewajiban mengisi daftar presensi layaknya di kelas atau di kantor), tapi saya ingin lebih sadar untuk lebih apresiatif dan mengingat orang-orang yang sudah dan kerap ‘hadir’, terutama when I need it the most. Walaupun setelahnya kita tidak terlibat dalam interaksi sehari-hari yang intens atau bahkan tidak berkelanjutan, serta ingatan yang memang suka terbatas kapasitasnya, tapi saya ingin sebisa mungkin mengingat apa-apa yang pernah diberikan kepada saya (apapun itu bentuknya) hingga saya bertahan sampai hari ini. I’m sorry, too, kalau saya juga tidak selalu ‘hadir’ saat dibutuhkan.

Di sisi lain, saya juga belajar bagaimana selama ini saya melakukan sesuatu, membantu, atau ‘hadir’, dengan eskpektasi (bukan sekadar harapan) bahwa apa yang saya lakukan akan kerap diingat. Implikasinya adalah ketika saya merasa kontribusi saya tersebut terlupakan, saya bisa merasa kacau sendiri dan menuntut karena merasa berhak untuk diingat. Mungkin dengan menyadari ini, saya jadi perlu merefleksikan kembali, apakah saya melakukan sesuatu karena ingin diingat dan dianggap ‘baik’ atau karena memang ingin melakukannya? Karena tentu, bukan tanggung jawab mereka untuk membuat saya merasa berarti, hehe.

Saya tahu saya bukan siapa-siapa dan ini bukan pidato Oscar, tetapi pada kesempatan ini, izinkan saya mengucapkan terima kasih pada kamu, kamu, kamu, yang pernah memilih dan meluangkan waktu, energi, sumber daya, perhatian, dan sebagainya untuk saya yang bukan siapa-siapa ini hingga masih bertahan sampai saat ini meski saya bukan siapa-siapa. Terima kasih :)

The Princess Diaries (Garry Marshall, 2001)

What does inferiority do?

Sebagai individu yang merasa dirinya inferior1, saya akan memulai tulisan ini dengan sebuah disclaimer bahwa tulisan ini saya buat sebagai refleksi atas pengalaman, pengamatan, dan pandangan pribadi. Salah satu dari segudang hal impulsif yang kerap saya lakukan, tapi semoga dapat menjadi langkah awal untuk pengamatan, refleksi, dan penelusuran lanjutan.

Pada Sabtu, 28 Januari 2023, saya mendapat banyak sekali stimulus sehingga memutuskan untuk menuliskannya dalam unggahan ini sebelum meluap begitu saja. Hal ini dipantik dengan keikutsertaan saya sebagai salah satu anggota tim kerja belakang layar untuk kelas Sekolah Pemikiran Perempuan (SPP) 2023, yang telah dimulai per 21 Januari lalu dan akan berlangsung sampai 11 Maret mendatang. Para peserta di kelas ini telah melalui tahapan seleksi, tetapi saya beruntung sekali bisa turut menyimak apa yang berlangsung di dalam kelas karena terlibat sebagai panitia kerja.

SPP telah menyelenggarakan kelas sejak 2019, yang ketika itu merupakan bagian dari program Cipta Media Ekspresi (CME). Saya sendiri baru bergabung dalam tim kerja pada 2020 lewat kegiatan Etalase Pemikiran Perempuan (Etalase) 2020, membantu mengelola media sosial sebagai salah satu platform komunikasi publik. Saya masih ingat perasaan khawatir, cemas, dan tidak percaya diri2 yang menyertai ketika diajak terlibat karena saya merasa banyak tidak tahu tentang isu perempuan, feminisme, dan hal-hal terkait lainnya. Sangat mungkin bahwa keputusan untuk terlibat kemudian lebih didasarkan pada kebutuhan akan pekerjaannya saja–satu alasan yang cukup kuat meruntuhkan rasa khawatir, cemas, dan tidak percaya diri tadi. Namun, jika menengok kembali ke awal mula keterlibatan saya sampai hari ini, bisa dikatakan bahwa hal tersebut menjadi salah satu berkah terselubung di kala pandemi yang terjadi pada tahun tersebut.

Saya belajar banyak–meski ragu sendiri apakah saya jadi bertambah pintar (maksudnya lebih karena faktor diri saya yang memang susah pintar)3–melalui pertemuan dan perkenalan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan para puan-puan luar biasa. Yang paling penting bagi saya yang inferior ini adalah tersedianya ruang aman dan nyaman untuk saya belajar sekaligus bekerja di sini. Kekhawatiran, kecemasan, dan ketidakpercayadirian saya di awal, tidak terlalu mengokupasi saya karena adanya dukungan, encouragement instead of discouragement, dan prinsip ‘mendengarkan‘ satu sama lain. Adanya ruang yang kondusif membuat saya cukup merasa percaya diri sehingga tidak hanya membuat saya senang dalam menjalankan pekerjaannya tetapi juga bisa menyerap banyak pengetahuan dan pengalaman sebagai pembelajaran.

Keterlibatan saya berlanjut hingga SPP menyelenggarakan kelas SPP 2022. Bekerja di belakang layar, memungkinkan saya menyimak percakapan dalam kelas, serta sesekali berinteraksi dengan para peserta. Maafkan jika pilihan kata saya sangat minim dan miskin4, tetapi di setiap pertemuan kelas berakhir saya kerap berujar, “keren-keren banget sih ini orang-orang.” Namun, meski tidak sering terutarakan atau terujar dalam pertemuan di kelas, ada satu kesan yang sesekali nampak dari respons-respons di kelas, yang membuat saya cukup heran dan penasaran: bagaimana bisa, para puan yang amatlah keren bagi saya ini, merasa.. inferior? Well, yes, they can. The good news is, SPP give them (and also me) a safe space for being inferior and even vulnerable. Dalam pengertian, bukan untuk menjadi ruang yang sekadar hosting a pity party, melainkan untuk saling mendukung dan menguatkan.

Kembali ke pertemuan SPP 2023 kedua yang berlangsung hari ini, ada satu fragmen diskusi yang membahas pengalaman keminderan ini, sebagai salah satu respons atas topik utama mengenai feminisme kulit berwarna dan interseksional yang dibawakan oleh pembicara tamu L. Ayu Saraswati. Beberapa pengalaman minder seperti belajar di negara asing yang mengharuskan menggunakan bahasa kedua sehingga dianggap tidak lebih pintar, atau karena kita berasal dari negara Selatan; atau minder karena mengalami diskriminasi ras, agama, gender; atau minder karena kita dianggap tidak memenuhi standar-standar tertentu yang ditetapkan atau diakui sehingga dianggap tidak lebih baik; dan seterusnya.

Dua respons dari Kak Ayu yang kemudian memantik saya menulis unggahan ini,

  1. Kita bisa menggunakan tawaran pendekatan dari Sara Ahmed untuk menelusuri dan memahami keminderan ini dengan berangkat dari dua pertanyaan: a) What does it do? Dalam kasus ini, kita bisa mengganti kata it dengan inferiority, sehingga menjadi What does inferiority do? Apa fungsi dan konsekuensi dari kita untuk berkutat dengan perasaa inferior atau minder ini? Yang saya bayangkan dari pertanyaan awal ini–setidaknya saat ini–adalah turunan pertanyaan, apakah akan lebih banyak manfaatnya atau mudaratnya untuk merasa inferior? Atau bisa membawa kita pada pencarian lebih lanjut terhadap asal muasal inferior ini bercokol dalam diri kita dan pelan-pelan mengatasi dan menghadapinya. b) Who benefits from it? Siapa yang akan diuntungkan dari kita merasa inferior? Orang-orang yang tidak ingin kita maju atau berkembang, kah? Orang-orang berkuasa yang ingin kita menurut saja dan membuat kita bergantung dengan kuasa mereka, kah? Sangat mungkin kita dibuat atau bahkan dibentuk untuk menjadi inferior demi keuntungan segelintir pihak.
  1. Selaras dengan nilai SPP yang saya pahami dan pelajari selama saya bergabung, saya menangkap penekanan Kak Ayu akan keterkaitan diri kita sebagai individu dengan komunitas kita berada. Bagaimana ‘keberhasilan’ satu orang tidak hanya berfokus pada satu individu yang bersangkutan saja, tetapi juga dapat turut ‘mengangkat’ anggota-anggota lain dalam komunitas tersebut. Dan berkaitan dengan respons pertama di atas, maka muncul pertanyaan, apakah keminderan kita akan bermanfaat atau justru berpotensi merugikan, tidak hanya bagi diri kita sendiri tetapi juga komunitas kita?

Dua respons tersebut cukup menyentil saya sekaligus boosting self-worth saya (hehe5). Namun, saya pribadi juga tidak ingin menjadikan hal tersebut membawa saya kepada perlakuan ekstrim bahwa saya tidak boleh inferior. Mungkin saat ini, langkah yang paling masuk akal bagi saya adalah menjadi lebih aware ketika sedang merasa inferior dengan terus menerus bertanya menggunakan dua pertanyaan dasar di atas. Langkah lainnya, saya pribadi sangat ingin menjadi pendengar yang baik bagi teman-teman lain, khususnya para puan, yang kerap merasa inferior atas apapun itu. Berdasarkan pengalaman pribadi, terkadang bercerita dengan orang lain membantu mengingatkan saya akan kapasitas saya untuk bisa berkontribusi, yang kadang teredam ketika saya kumat terlalu minder. Ditambah, perspektif orang lain bisa jadi relatif lebih objektif dibanding diri kita sendiri yang mungkin terkadang ‘terlalu keras’ melihat dan menilai diri kita sendiri.

Di sisi lain, saya juga jadi penasaran, apakah pengalaman-pengalaman minder para puan ini merupakan pengalaman kolektif yang terbentuk (atau dibentuk)? Semoga ada kesempatan, waktu, dan energi untuk menelusuri ini lebih lanjut.

Sementara itu, mari berpelukan dan saling menguatkan.


Gotcha! Format penomoran catatan kaki pada tulisan ini sebenarnya saya gunakan untuk menghitung berapa kali saya menunjukkan bahwa saya inferior dalam tulisan ini, hehe.

Ada Apa dengan Yuni?

Sebagai bocah kelas 6 SD yang kebagian hebohnya film Ada Apa dengan Cinta? (AADC?) (Rudi Soedjarwo, 2002), film tersebut cukup mempengaruhi tumbuh kembang saya. Masih teringat bagaimana selepas menonton film itu, saya cukup terobsesi bikin geng cewek yang punya buku curhat dan jadwal buat latihan nge-dance. Berlanjut di SMP jadi naksir dan tuker-tukeran puisi sama seorang cowok cadel, juga berasa akrab nemu buku Deru Campur Debu-nya Chairil Anwar di perpustakaan sekolah (padahal nggak ngerti juga maksud puisi-puisinya apa), dan tentu saja ikut menghafal dialog-dialog filmnya. Intinya, film itu cukup besar pengaruhnya bagi saya, bahkan sampai saya menulis ini.

Dok. Fourcolours Films

Sembilan belas tahun kemudian, ketika Yuni (Kamila Andini, 2021) rilis di bioskop-bioskop Indonesia pada hujan di bulan Desember (iya, aku #ter-ERK), kepala saya tidak bisa berhenti mengaitkan kedua film tersebut. Tanpa menginvalidasi apa yang dianggap persoalan bagi Cinta dan orang-orang di sekitarnya di AADC?, saya merefleksikan adanya kehidupan remaja yang begitu kontras–dan semakin kontras–ketika menautkan dunia Cinta dengan dunia Yuni.

Baik AADC? maupun Yuni, keduanya berangkat dari upaya memotret jungkir baliknya kehidupan remaja, utamanya dengan tokoh utama seorang remaja perempuan, yang kalau Britney Spears bilang, “I’m not a girl, not yet a woman”. Sebuah kategori usia yang identik dengan masa transisi, dengan lika-liku problematikanya sendiri, menuju apa yang kerap disebut dengan ‘menjadi dewasa’. Baik Cinta maupun Yuni, punya geng-nya masing-masing, dengan karakteristik dan kisah anggotanya yang beragam. Keduanya beririsan dengan puisi, meski memiliki posisi yang berbeda terhadapnya. Cinta langganan juara lomba puisi–until she’s not, sedangkan Yuni dengan lempeng dan yakin menjawab “Nggak,” ketika gurunya bertanya apakah ia mengerti elaborasi dari tugas puisi yang ia kerjakan. Yang satu digerakkan dengan Chairil Anwar, yang satu lagi oleh Sapardi Djoko Damono.

Terlepas dari itu, kehidupan keduanya amatlah berbeda.

Cinta berada di latar masyarakat urban Jakarta–yang kini mungkin bisa lebih spesifik dikategorikan sebagai warga Jakarta Selatan–sedangkan Yuni berada di Serang, kawasan industri yang memposisikan pegawai pabrik sebagai simbol kemapanan. Masing-masing ditandai melalui bahasa percakapan, gaya berpakaian, sampai tempat nongkrong. Cinta tinggal dengan keluarga utuh, sedangkan interaksi Yuni dengan orang tuanya didominasi percakapan via telepon (karena orang tuanya harus menjadi TKJ: Tenaga Kerja Jakarta) dan sehari-hari ia tinggal bersama neneknya.

Persoalan Cinta lebih banyak seputar mempertahankan popularitas dan predikatnya sebagai cewek gaul di sekolah, sehingga naksir cowok yang beda derajat gaulnya menjadi semacam pilihan krusial. Kegalauan Cinta untuk memilih Rangga atau persahabatan mading siap terbitnya, menjadi penggerak film yang bisa diamini sebagai kewajaran persoalan remaja pada umumnya. Ekspektasi kewajaran itu yang saya asumsikan pula harusnya terjadi bagi Yuni, sebagai sesama cewek seumuran Cinta.

Namun, Yuni bukanlah Cinta. Dan inilah pentingnya film Yuni, bagi saya. Meski sama-sama galau, kegalauan Yuni berkutat pada rentetan lamaran pernikahan yang datang kepadanya (dari laki-laki dengan profil dan usia beragam pula!) dengan segala referensi dari orang-orang di sekitarnya tentang pernikahan (juga kehamilan) yang dijalani orang-orang seusianya–yang tergambarkan sudah dinormalisasi di lingkungan masyarakat Yuni berada–dengan kemungkinan melanjutkan ‘tahap hidup’ selanjutnya tanpa pernikahan terlebih dahulu, seperti melanjutkan kuliah atau bekerja.

Jika adegan ikonik Cinta ngumpul dengan geng-nya adalah adegan nge-dance bareng (meski untuk comforting persoalan Alya yang tak ringan pula), adegan ikonik Yuni ngumpul bareng geng-nya yang komplit, bagi saya, adalah ketika mereka menjenguk salah satu temannya yang baru saja melahirkan, dengan absennya sosok si suami. Jika Cinta bisa mengejar Rangga sampai ke bandara, apakah Yuni bisa setidaknya mengejar beasiswa pendidikan perguruan tinggi yang berpotensi diraihnya?

Pada akhirnya, catatan penting bagi saya setelah menonton film Yuni adalah betapa imajinasi untuk memiliki pilihan atau membayangkan kemungkinan-kemungkinan menjalani masa depan adalah sebuah privilege, dan adalah sebuah persoalan ketika hal tersebut bukanlah sesuatu yang sewajarnya diperoleh oleh para remaja. Termasuk untuk merasa belum-tahu-mau-menjadi-apa dan kesempatan untuk figuring out things, tanpa harus selalu dibatasi pernikahan sebagai satu-satunya jawaban.

Warpaint

Intro

Adalah Shirley Tamara yang pertama kali mengenalkan saya pada Warpaint. Empat orang mbak-mbak nge-band. Kalau tidak salah ingat, bermula dari saya (karena satu dan lain hal) kesengsem sama Shannyn Sossamon, seorang aktris Ameriki yang diketahui kemudian bahwa dia adalah kakak dari salah satu personil Warpaint, Jenny Lee Lindberg. Dengan bantuan mesin pencari yang maha Google, akhirnya saya pun mendengarkan lagu Warpaint yang berjudul “Undertow”, mengetahui bahwa Shannyn juga pernah menjadi bagian dari Warpaint, dan dia pula yang menyutradari video klip “Undertow”. Sejak saat itu, saya mencoba mendengarkan lagu-lagu Warpaint lainnya. Ada yang langsung bisa saya terima, ada yang harus penuh usaha untuk menikmatinya, hehe. Namun, bukannya kapok, saya malah terus penasaran dan mencoba mengikuti setiap ada album dan lagu yang dirilis, serta klip-klip mereka di YouTube. Makin lama makin terpesona, meski belum seutuhnya mengenal.

Sebenarnya, kalau ditanya kenapa bisa nyangkut sama Warpaint, saya merasa nggak punya penjelasannya. Mengidentifikasi apa aliran musik mereka pun saya juga nggak tahu. Mungkin layaknya orang-orang yang saya taksir, saya cuma punya konsep di kepala saya aja bahwa saya suka mereka dan jatuh cinta dengan konsep itu sendiri. HA Ha ha. Atau mungkin bagi saya, sesederhana mereka cewek-cewek keren dari blok sebelah yang bisa mengisi titik-titik kosong kalau ada pertanyaan, “Saya ingin menjadi…”

Anyway… pada suatu hari di akhir tahun 2016, saya melihat sebuah pos di Instagram yang menginformasikan bahwa Warpaint akan tur konser di Australia. Iseng-iseng lah saya screen capture dan unggah di Path. Tidak lupa tag Shirley dengan maksud ‘menggodanya’, mengajak ia untuk mengejar menyaksikan penampilan Warpaint secara langsung di negara kangguru tersebut. Tentunya buat saya pribadi jadi bahan mimpi di siang bolong saja. Namun, selang beberapa waktu, saat sedang iseng-iseng membuka bagian Explore di Instagram, tadaaaaaa… ada satu pos yang menyedot perhatian mata saya bertuliskan (kira-kira) begini, “FRIDAY, 17th FEBRUARY 2017 LIVE IN JAKARTA” dengan font WARPAINT dan foto keempat personil. Ya langsung saya klik lah ya! Peristiwa itu pun membawa saya pada akun Instagram Wire It Up, promotor konser tersebut.

Love is to Die

Pada pos tersebut, Wire It Up belum mengumumkan harga dan informasi lebih lanjut, sehingga saya pun menyalakan fitur Turn On Notification. Tentunya, saya tidak ingin ketinggalan update demi bisa melihat dan menyaksikan penampilan langsung mbak-mbak kesayangan sekalian joget-joget ngablu. Pos demi pos saya lewati hingga akhirnya pemesanan tiket Early Bird dibuka dengan harga Rp350.000,- Hanya ada satu kelas saja, festival. Saya pun langsung menghubungi Shirley untuk janjian pesan tiket. Setelah ia mengiyakan, sesegera mungkin saya melakukan pemesanan. Namun, hanya dalam beberapa menit setelahnya, akun Wire It Up mengumumkan bahwa jatah tiket Early Bird telah habis alias sold out, sedangkan saya belum mendapat konfirmasi. Wah, lumayan galau sambil merelakan kalau-kalau memang harus mengeluarkan doku lebih untuk membeli tiket Pre-Sale. Tentu saja saya tidak mungkin tidak menonton konser ini seperti saya tidak mungkin melewatkan kesempatan waktu Feist manggung di Jakarta tahun 2012.

Ketika sudah pasrah, masuklah surel konfirmasi bahwa saya masih berhasil mendapat tiket dengan harga Early Bird. Senangnya bukan main! Sampai-sampai teriak “Yes!” sendiri dengan gerakan tangan yes pada umumnya di depan laptop saat masih berada di kantor. Saya tak mau ambil risiko menanti kuis-kuis bagi-bagi tiket karena biasanya nggak jodoh, serta nggak bermodal niat besar dan pengetahuan yang mumpuni untuk memenangkan kuis-kuis demikian, hehe. Selanjutnya, tiket Pre-Sale dijual seharga Rp550.000,- (dengan beberapa potongan jika membeli di gerai atau rekanan penjualan tiket tertentu) dan tiket On the Spot seharga Rp650.000,-

Kabar menyenangkan lainnya pun datang ketika Retti, salah satu perempuan kesayangan saya dan Shirley, mengabari bahwa ia juga sudah membeli tiket konser Warpaint tersebut sehingga kami akan menonton bersama! Apa yang lebih baik dari menonton band kesayangan yang lagi mampir ke Jakarta bersama para kesayangan? Ya, saya jarang menonton konser musik sehingga kadang suka sedikit berlebihan jika menyangkut hal-hal begini.

Pada suatu hari, Wire It Up mengumumkan salah satu kuis yang pemenangnya dapat mengikuti sesi Meet & Greet dengan para mbak gemes. Kuisnya adalah membuat foto atau video grup (terdiri dari 3-4 orang) bertemakan ide Outfit of the Day (OOTD) yang akan digunakan ketika menonton konser Warpaint nanti. Sontak saya pun mengajak Shirley dan Retti untuk ikutan. Nothing to lose tapi tetap ngarep, kami pun janjian untuk melakukan sesi berfoto ria, dibantu dengan pasangan masing-masing (kecuali pasangan saya yang masih terjebak di masa depan). Waktu itu sepakat, idenya bukan untuk menyerupai tampilan para personil Warpaint, tetapi bagaimana kami memandang ciri khas tampilan Warpaint yang effortlessly cool (mungkin jadi cool karena mereka Warpaint) bisa tetap kami sesuaikan dengan diri kami. Sok serius, ya? Hahahaha. Serius-serius bercanda, sesi foto-foto berlangsung pada hari Minggu di area rooftop sebuah apartemen dengan sok heboh akibat kebingungan. Sampai menyetel lagunya Warpaint segala, ceritanya biar dapet suasana. Setelah mati gaya dan menyudahi sesi, kami pun turun lewat tangga. Tetiba salah satu dari kami mengidekan untuk mengambil beberapa foto lagi di tangga tersebut.

Ketika memasuki acara pilih-pilih foto yang kiranya paling mendingan untuk diunggah, ternyata pilihan jatuh pada foto terakhir di area tangga. Agar merasa foto-foto di rooftop nggak terlalu sia-sia, kami tetap mencoba memilih beberapa foto yang lain juga. Namun, nasib berkehendak lain. Foto yang paling mendingan tetap yang di tangga. Sampai ketika besoknya saya bercerita kepada salah satu rekan kerja, ia pun berkomentar, “Harus di apartemen banget? Kalau foto seperti itu, rasanya di tangga manapun juga bisa, deh.” Hehe, ngakak miris dalam hati. Ya setidaknya kami jadi lebih menghargai profesi model dan proses sesi foto yang biasa mereka jalani, hihihi.

Sampai di batas akhir pengumpulan karya, kami (atau tepatnya saya) terus memantau peserta-peserta lain yang juga mengikuti kuis tersebut untuk mengukur kemungkinan kami menang. Tentunya langsung pesimis ketika melihat foto peserta lain yang terdiri dari empat laki-laki berpenampilan dan berpose seperti para personil Warpaint pada materi publikasi konser. Well, hasilnya pun demikian. Mereka yang terpilih menjadi pemenangnya. Sebelum pengumuman, foto tersebut bahkan sampai diunggah di akun Instagram resmi Warpaint dengan caption You did us better than us.” Hahaha, gokil sih memang. Sempat sirik dan iri karena merasa konsep foto tersebut tidak sesuai dengan konsep yang disebutkan dalam kriteria kuis (dan ada kriteria lain yang tidak dipenuhi salah satu anggota tim) sampai saya mengirimkan pesan pribadi ke akun Instagram promotor, tapi pada akhirnya ikhlas sudah because they deserved it anyway. Hehehe.

No Way Out

Menjelang hari H, tentunya makin tidak sabar. Hitung mundur hari pun dilakukan. Sehari sebelumnya, saat kebetulan sedang berada di area Gelora Bung Karno, saya pun melewati lokasi konser. Di sana sudah terpasang umbul-umbul dan diatur sedemikian rupa sehingga menjadi arena konser. Hanya berbekal dua pengalaman menonton konser tunggal selama beberapa tahun terakhir, yakni Feist dan Katy Perry, arena tersebut tampak relatif kecil. Melihat aktivitas di area tersebut, membuat saya makin tak sabar menanti esok.

Tepat di hari H, saya terbangun sekitar pukul 4 pagi. Mengikuti gaya hidup masa kini, maka bangun-tidur-ku-terus-buka-Instagram. Sialnya (bagi saya), pos yang muncul sebagai feed teratas adalah foto seorang laki-laki bersama para personil Warpaint di bandara Soekarno-Hatta! Sumpah, iri banget. Rasanya pengen langsung bangkit dari kasur dan ke bandara saat itu juga. Setelah itu, obsesi saya ingin jumpa mereka dari dekat makin menjadi-jadi. Tentu saja tidak kesampaian. Akhirnya hanya bisa mupeng melihat unggahan orang-orang yang bisa berada di dekat mereka, foto bersama, dan bahkan memberikan hadiah langsung. Melihat foto wartawan yang datang meliput konferensi pers pada siang harinya, bawaannya langsung ingin menjadi peliput (lagi). Yang bikin makin iri dan sirik adalah cerita orang-orang yang berhasil foto bareng dan dari situ terlihat betapa selow, ramah, dan asiknya para mbak gemas ini. Setidaknya itu kesan yang saya tangkap, hehe. Salut juga sama orang-orang yang segitu berjuangnya untuk mencari kesempatan bertemu mereka.

Sambil terus memantau akun Instagram promotor dan hashtag-hashtag seputar Warpaint di Jakarta, saya memperoleh informasi bahwa penukaran tiket dapat dilakukan mulai pukul 17.00. Gerbang masuk ke area konser akan dibuka pukul 18.00 dan akan dimulai dengan penampilan tiga grup musik lokal (terlepas dari kegelisahan pribadi tentang pemakaian kata ‘lokal’) terlebih dahulu: Diocreatura, Troü, dan kimokal. Dari ketiga grup tersebut, saya sendiri baru mengenal kimokal. Iri sekali dengan mereka karena bisa berbagi, baik atas maupun belakang panggung, dengan Warpaint! (Ya, saya iri sama semua orang, tetapi nggak punya cukup niat dan keberanian untuk mengusahakan sesuatu, huft..)

Saya janjian bertemu Shirley pukul 17.00 untuk menukarkan tiket, sedangkan Retti akan menyusul. Ketika kami menukarkan tiket, bahkan terlambat setengah jam dari jadwal janjian, suasana masih terbilang sepi. Beberapa orang memang sudah berdatangan dan tampak menunggu. Antrian penukaran tiket pun tidak panjang, hanya satu dua orang di depan saya dan prosesnya tidak memakan waktu lama. Berbeda ketika hendak menonton konser Feist, yang mana antriannya cukup panjang menjelang masuk arena pertunjukan. Apalagi menonton konser Katy Perry, sampai harus datang dari jam satu siang untuk mendapatkan titik menonton yang paling baik, sebisa mungkin. Melihat situasi yang masih santai dan sepi usai menukarkan tiket, saya dan Shirley pun berani memutuskan untuk makan malam dulu di f(X) Sudirman, yang jaraknya sekitar 700 meter dari lokasi konser.

Retti menyusul kami di f(X) Sudirman. Kami pun baru beranjak kembali menuju tempat pertunjukan sekitar pukul 19.30 atau 20.00. Dengan waktu tempuh berjalan kaki selama 10 menit, kami tetap tidak menemukan kerumunan yang bertumpuk atau antrian masuk gerbang yang berarti ketika sampai di lokasi, padahal sudah ada penampilan grup musik lokal pembuka. Menjelang gerbang masuk, para calo tiket mulai bergantian menghampiri. Mereka menjual tiket rata-rata seharga Rp200.000,- dengan jargon “masuk dulu, baru bayar”. Kurang paham dengan maksud dan teknis penerapannya, tetapi mungkin hal tersebut guna menjamin bahwa tiket yang mereka jual tidak palsu.

Setelah pemeriksaan keamanan di gerbang masuk, tiket kami ditukarkan dengan gelang kertas. Melewati gerbang, kami pun disambut semacam standing banner pose setengah badan para personil Warpaint yang skala tingginya kira-kira setinggi saya. Kalau tidak salah ingat. Tentunya menjadi salah satu spot caem untuk foto-foto. Di sisi kanan ada para penjual makanan dan minuman, sedangkan di sebelah kiri tersedia beberapa portable toilet. Kemudian ada lapak kaos, topi, dan beberapa cinderamata. Namun, lapak tersebut tidak menjual cinderamata resmi Warpaint. Sepertinya mereka hanya menyediakan produk yang dibuat oleh promotor dan rekanannya.

Setelah itu, di tengah-tengah ada panggung FOH yang kemudian membentuk jalan di kanan dan kirinya. Penonton bisa memilih, mau menyaksikan pertunjukan dari sayap kiri atau sayap kanan karena di tengah-tengah area penonton justru dibuatkan sekat pemisah. Kami memilih jalur yang sebelah kiri. Saya pribadi memilih yang kiri karena saya suka yang kiri-kiri. Nggak deng, eh ya mungkin benar, tapi untuk hal ini saya memilih sayap kiri karena biasanya personil favorit saya, Theresa Wayman, berdiri di sisi kiri hadapan penonton (sisi kanan panggung).

Benar seperti dugaan saya pada hari sebelumnya, arena pertunjukan memang terbilang kecil. Panggungnya pun sederhana saja. Di tengah panggung dibuatkan tambahan tempat berjalan ke arah penonton dengan ukuran luas yang lebih kecil sehingga seperti membentuk T bantet. Ketika kami masuk, beberapa penonton sudah stand by dan merapat untuk mengamankan posisi paling depan. Kami sepakat untuk menunggu di pinggiran dulu, duduk santai, dan baru akan bergerak merapat sedikit ke tengah menjelang pertunjukan mulai. Hasrat untuk menyaksikan pertunjukan dari jarak yang paling dekat juga sudah memudar, yang penting bisa seru-seruan bersama. Bahkan yang penting bisa seru-seruan sendiri. Di tengah-tengah penantian, abang ganteng yang paling ganteng sejak SMA bernama Rezky, menghubungi saya. Nyari temen, katanya. Ujung-ujungnya pas dia sampai, malah duluan dia jumpa dengan temannya. Yang bukan saya. Retti juga bertemu dengan temannya yang bernama Dea, sehingga pada akhirnya kami pun menonton bersama.

So Good

Menjelang pukul 21.00, ketika penampil pembuka urutan ketiga hampir mengakhiri pertunjukannya, penonton mulai makin banyak berdatangan. Kami yang tadinya berada di pinggir pun ikut merapat ke tengah. Belakangan disadari bahwa sudut pandang dari tempat awal kami menunggu rasanya lebih nyaman karena tidak terhalang kepala orang lain. Namun, untuk ukuran penonton yang baru merapat menjelang Warpaint berlaga, posisi kami masih bisa dibilang cukup dekat. Entah memang arenanya yang tidak terlalu luas, atau penontonnya yang tidak terlalu banyak. Sampai tulisan ini terbit (tsailah!), saya belum menemukan foto yang menangkap crowd penonton, jadi tidak bisa membayangkan keramaian malam itu.

Dan akhirnya…. setelah penantian yang santai dan tidak terlampau panjang apalagi melelahkan, para kesayangan pun memasuki panggung! Nama yang paling sering diteriakkan adalah Jenny Lee. Theresa dan Stella masih memakai outfit yang sama dengan yang saya lihat di foto saat mereka konferensi pers. Stella dengan atasan tangan buntung (saya lupa apakah ia ganti bawahan memakai celana pendek atau masih memakai celana panjang), Theresa dengan kaos dan rok kotak-kotak dengan panjang sampai atas lutut plus stocking(?) sebetis, Emily dengan atasan dan luaran merah yang terlihat paling mencolok apalagi kalau kena sorot lampu panggung, sedangkan Jenny Lee… nggak heran jika tampilannya menambah banyak perhatian orang karena dia memakai kaos barong Bali yang longgar, adem, dan nyaman itu. Sepertinya ia memakai pemberian-pemberian dari para penggemarnya yang bisa langsung ia pakai. Di tengah-tengah pertunjukan, Emily melepas luarannya sehingga hanya mengenakan atasan tangan buntung yang juga berwarna merah (sehingga tetap paling mencolok). Selain itu, hanya ia dan Jenny Lee yang mengikat rambut di tengah-tengah pertunjukan (mungkin karena kegerahan), sedangkan Stella dan Theresa membiarkan rambutnya terurai menciptakan kibasan-kibasan badai, hahaha. Setidaknya itu yang terekam di ingatan saya.

Saya tengok jam, mereka memainkan “Intro” sekitar pukul 21.30, dilanjutkan “Keep it Healthy”. Pertunjukan malam itu tidak banyak basa-basi. Dari satu lagu, langsung mereka hajar masuk ke lagu selanjutnya. Sesekali ditambah ucapan “Thank you” dan “Terima kasih”. Kalaupun ada gimmick pengucapan kata dalam Bahasa Indonesia lainnya, hanya sekali disampaikan oleh Emily yakni “Bagus, bagus, bagus!”. Entah apa konteks dan maksudnya, hahaha. Atau beberapa kali sekadar menyebutkan judul lagu yang hendak mereka mainkan selanjutnya, yang tentu selalu disambut sorakan penonton. Theresa dan Emily kadang bergantian beranjak dari spot mereka ke tengah ujung panggung T ketika harus bernyanyi, meski berarti keluar dari zona sorotan lampu. Sesekali ada teriakan di ujung lagu dengan efek echo, atau sentuhan nada yang sedikit berbeda. Namun selebihnya, mereka tidak memberi jeda panjang saat peralihan lagu. Tidak pula ada interaksi yang berarti, yang biasanya jadi modal untuk menyisakan kesan lebih mendalam akan sebuah pertunjukan musik. Seakan mereka membiarkan agar lagu-lagu yang mereka bawakan, dan bagaimana mereka membawakannya, cukup menjadi satu-satunya cara berkomunikasi dan terhubung dengan para penonton. Di atas panggung sederhana tanpa visual background khusus atau permainan lighting yang memesona.

Saya sendiri hanya bisa pasrah membiarkan energi saya disedot oleh pertunjukan hampir marathon itu. Adapun yang bisa dilakukan adalah mengimbangi sekaligus mengagumi energi mereka di atas panggung untuk menunjukkan skill permainan musik mereka yang luar biasa, seperti yang bisa dan biasa didengar jika memutar album mereka. Mereka pun memainkan lagu-lagu dengan gaya dan gerakan masing-masing yang sudah bisa dikenali lewat video-video pertunjukan live mereka sebelum-sebelumnya di YouTube. Meski saya paling fokus sama gerak-geriknya Theresa (apalagi kibasan rambutnya, hahaha), kesayangan yang paling kesayangan. Bedanya, kali ini saya dibuat makin percaya betapa skillful-nya mereka karena menyaksikan penampilan mereka secara langsung. Walaupun dari jarak saya berdiri tidak dapat melihat wajah mereka secara jelas (atau mungkin minus mata saya tidak terakomodasi kacamata yang saat ini dipakai), tetapi layar di sisi panggung cukup membantu ketika sekali-sekali mau colongan melihat ekspresi mereka. Apalagi ketika saya menangkap di layar, momen saat Stella memegang satu alat musik lagi dengan tangan kanannya (selain stik drum yang sudah ia pegang), tetapi tangan kirinya masih memukul drum untuk menjaga beat tetap sesuai. GOKS! Badan pun nggak bisa diam karena selalu terpancing joget-joget bahkan lompat-lompat di beberapa lagu, sambil sesekali memejamkan mata untuk menghanyutkan diri sambil mengutuk betapa kerennya mereka.

Dalam durasi sekitar satu jam, mereka sudah membawakan 12 lagu (berdasarkan gambar setlist yang beredar sesuai konser karena saya pun sudah lupa urutannya saat menulis ini). Salah satu yang asyik dari konser Warpaint ini adalah setlist mereka yang menurut saya disusun dengan sangat apik. Meskipun bertajuk tur Heads Up yang adalah album terbaru mereka, tetapi lagu-lagu dari album tersebut tidak terkesan dominan dalam pertunjukan malam itu. Lagu-lagu dari album-album mereka sebelumnya (atau sekadar single yang pernah mereka rilis) muncul di urutan yang tidak terduga, semerta-merta demi menyajikan alur pertunjukan dengan kenikmatan maksimal. Seakan mereka memposisikan bahwa konser ini bukan sekadar mempromosikan album baru, tetapi merayakan pertemuan Warpaint dengan penggemar mereka di wilayah sini. Saking apiknya setlist tersebut, saya merasa tiap lagu yang dibawakan (dengan kekhasannya masing-masing) seakan diciptakan di satu masa yang sama dan dihadirkan sebagai lagunya Warpaint tanpa memandang lagu itu diciptakan pada zaman yang mana.

Tentunya satu jam durasi yang terlalu singkat untuk pertemuan yang sangat jarang dan sudah ditunggu-tunggu, meski di sisi lain masih kagum dengan stamina mereka memainkan keduabelas lagu dalam daftar berikut:

INTRO/KEEP IT HEALTHY
HEADS UP
KRIMSON
UNDERTOW
NO WAY OUT
THE STALL
BEETLES
WHITEOUT
ELEPHANTS
LOVE IS TO DIE
NEW SONG
DISCO//VERY

Setelah lagu terakhir usai, mereka pun mengucapkan terima kasih (lagi) sambil perlahan bubar satu per satu turun panggung. Tentunya penonton berteriak “We want more!” seperti ritual konser pada umumnya. Belakang kanan saya masih teriak-teriak namanya Jenny Lee. Belum ada tanda-tanda kru membereskan alat, para penonton juga seakan tahu bahwa they will be back to the stage anyway, jadi ya belum pada bubar. Sekitar 10 menit setelahnya, mereka kembali muncul memainkan dua lagu sebagai encore: “So Good” dan “Bees”. Setelah bocoran setlist keluar, saya baru mengetahui bahwa mereka sempat memasukkan lagu “Billie Holiday” untuk sesi encore, tetapi nyatanya tidak mereka mainkan. Entah apa alasannya, tetapi buat saya cukup masuk akal karena sebagian besar lagu yang mereka bawakan memang yang bertempo cepat. Menurut amatan saya yang sangat sok tahu ini, jika mereka memainkan “Billie Holiday” atau lagu bertempo lambat lainnya (seperti “Baby” yang menjadi salah satu lagu kesukaan saya), mungkin atmosfir konser bisa sedikit terganggu keseimbangannya.

Beetles

Dibandingkan dua konser yang pernah saya datangi dan sudah saya sebutkan sebelumnya, bisa dikatakan ini situasi konser yang paling enak. Di satu sisi, sepertinya konser ini relatif sepi. Di sisi lain, situasi tersebut menyenangkan bagi saya karena suasananya jadi santai, tidak perlu rebutan berdesak-desakan. Tidak perlu adegan ngantri dari siang apalagi lari-lari menyelamatkan posisi yang paling baik. Di sisi lainnya lagi, agak sayang memang dengan panggung yang relatif kecil tersebut dan penonton yang tidak terlalu banyak, Warpaint tidak menjalin interaksi yang lebih intim atau spesial. Tidak harus dengan ngomong panjang lebar atau bicara dalam Bahasa Indonesia, tetapi saya sedikit mengharapkan mereka memberi sentuhan berbeda pada beberapa lagu dari versi yang sudah biasa didengarkan dalam album (seperti perlakuan mereka pada lagu Love is to Die) atau sesi impromptu seperti saat mereka tampil di video ini.

Seusai pertunjukan, Rezky (yang tentunya lebih sering datang menonton konser dan festival musik) menyampaikan bahwa baginya, suasana konser malam itu tidak terlalu festive dan sound-nya pun kurang maksimal. Ia menambahkan sempat melihat sebagian personil meminta penyesuaian terhadap sound alat musik mereka beberapa kali. Namun, saya pribadi tidak terlalu memperhatikan hal tersebut. Saya cukup terbius permainan musik mereka, terutama fokus pada goyangan dan kibasan Theresa Wayman, my favorite lady. Just enjoy it while it last, see them live with my own minus eyes, merekamnya dalam kapasitas memori yang ada, dan sisanya cuma melampiaskan kenikmatan-kenikmatan pribadi dengan joget-joget pada setiap detik yang mungkin.

Salut sama Wire It Up, promotor yang menurut saya cukup ‘nekat’ menjadikan Warpaint sebagai proyek pertama mereka. Entah bagaimana sudah berhasil membuat mereka mau mampir ke Jakarta (pertama kali dan pada akhirnya!) sehingga menjadikan ini sebagai satu-satunya konser Heads Up di Asia Tenggara. Meski sepertinya mereka di Jakarta literally mampir sebelum beranjak tur di Australia (yang mana tanggalnya sudah diumumkan duluan). Takjub dengan Wire It Up yang melihat peluang untuk nyolek mereka transit dan main di Jakarta, hehe.

Tidak ada basian yang berarti sesuai konser tersebut. Namun konser tersebut berhasil membuat saya ingin menyimak Warpaint dan musiknya lebih dalam lagi, mulai dari awal lagi. Mendengarkan lagi album-album mereka yang terdahulu dan menerka-nerka apa yang mungkin sama atau berbeda pada album-album selanjutnya. Mengecek lagi lirik-lirik lagu mereka, mengidentifikasi instrumen yang dimainkan tiap personil pada tiap lagu, dan semakin menyadari serta mengagumi bagaimana tiap-tiap instrumen itu (termasuk vokal) hadir dan membentuk setiap lagu mereka. Tentunya juga mendengarkan playlist tiap personil di Spotify.

Semoga suatu saat bisa menonton penampilan mereka secara langsung (lagi) dan bisa berada di jarak yang lebih dekat. Salaman, foto bareng, dan ngobrol sok akrab sambil gemeteran, terutama dengan Theresa. Terima kasih Warpaint, sudah menjadi bahan buat saya menulis dan mengisi blog ini lagi setelah sekian lama. Juga para kesayangan yang sudah menghabiskan malam Warpaint bersama. Cium satu-satu :* :* :* :*

I Was Fine Before I Met You

Pada tahun 2011 –kalau tidak salah ingat, gue dikasih tahu seorang teman soal serial “The L Word”. Serial berkisah seputar kehidupan sekelompok lesbian yang berlatar di California, Los Angeles. Di serial ini, gue suka banget sama salah satu pasangan: Bette Porter dan Tina Kennard. Mereka diceritakan telah menjadi pasangan dan hidup bersama selama tujuh tahun. Tentunya di serial ini mereka melalui banyak hal: suka duka menjadi pasangan lesbian, berpisah layaknya pasangan manapun, memutuskan punya dan mengasuh anak, sampai akhirnya mereka bersama lagi. Waktu mereka lagi tidak menjadi pasangan, Tina sempat penasaran bagaimana rasanya berhubungan lagi sama laki-laki. Bette, yang pernah menjadi kurator galeri seni, sempat pacaran dengan seorang seniman tuna rungu bernama Jodi Lerner. Mereka bertemu waktu sama-sama mengajar seni rupa di salah satu universitas. Namun, hubungan mereka harus berakhir karena ternyata antara Bette dan Tina masih ada yang belum ‘kelar’. Waktu Jodi meminta Bette meluruskan apa yang salah dengan relasi mereka sampai Bette lebih memilih kembali sama Tina, dia sempat bilang, “I was fine before I met you.” Salah satu adegan yang membuat perut dan dada gue terasa hampir ngilu tapi tidak sampai benar-benar ngilu. Ngilu nanggung.

Kenapa Jodi bisa bilang begitu? Inilah analisis sok tahu gue yang akan berlanjut ke curhatan gue.

Jadi, peran Jodi di serial ini adalah seorang yang ‘bebas’. Singkatnya, dia tidak suka terikat karena itu bisa mengekang kebebasannya. Tidak suka terikat peraturan, termasuk tidak mau terikat sama pasangannya meskipun mereka adalah pasangan. Beda sekali sama Bette yang ingin semua hal berada dalam kontrol dan tampak sempurna berdasarkan anggapan dia. Sebagai tokoh yang baru muncul di musim ke empat, Jodi dikesankan sebagai sosok yang harusnya membuat hidup Bette –yang muncul dari musim pertama, jungkir balik. Semua aturan-aturan yang Bette buat supaya tidak pernah ada kata salah dalam hidupnya, ‘dilanggar’ semua sama Jodi. Meskipun awalnya Bette tidak bisa menerima perbedaan dan gesekan-gesekan yang ia alami sama Jodi, tapi toh cinta mengalahkan segalanya. Sampai akhirnya, produser The L Word yang menjungkirbalikan segalanya. Saat penonton mengira Jodi telah menjungkirbalikan hidupnya Bette (dan mungkin memang), kenapa pada akhirnya Bette memilih jungkir balik hidup sama Tina lagi?

Di saat itulah, di semua situasi yang membuat penonton percaya bahwa Bette tampak tak berdaya di hadapan Jodi, produser tak ingin Bette kembali pada Tina tanpa meninggalkan simpati untuk Jodi. Ternyata Bette pergi saat Jodi siap melibatkan Bette dalam hidupnya. Yang mana, sebelum ketemu Bette, dia bergantung penuh sama dirinya sendiri untuk tiap keputusan yang dia buat. Bette pergi saat dia mulai peduli dan khawatir kalau Bette juga tampak khawatir, padahal sebelum ketemu Bette, dia cukup mengkhawatirkan dirinya sendiri –dan dia cenderung memilih untuk bebas dari kekhawatiran akan dirinya sendiri. Jadi lah, I was fine before I met you itu dilontarkan. Tanpa berharap dan mengira bahwa dia akan bertemu dan bahkan punya hubungan dengan Bette, ternyata orang ini malah membuat hidupnya jungkir balik. Yang tadinya Jodi tidak suka terikat, akhirnya ia memutuskan untuk kompromi dengan kehadiran Bette –dan bukan orang lain, dalam hidupnya. Lalu, orang yang bikin jungkir balik ini malah pergi. Kan bera’?

Mungkin I was fine before I met you hanya frase lain dari You took my heart away atau Separuh jiwaku pergi atau Ada yang hilang dari perasaanku yang terlanjur sudah kuberikan padamu. Serta lagu-lagu lain yang mampu menyuarakan betapa sebagian dari diri lo ikut pergi orang yang (mungkin lo anggap) pergi dari lo. Sebelum ketemu dia, makan siang makan malam sendirian ya biasa saja. Sebelum ketemu dia, tanda messenger di push notification HP nggak ditunggu-tunggu amat. Sebelum ketemu dia, menonton film di bioskop sendirian ya sanggup-sanggup aja. Sebelum ketemu dia, semua barang/peristiwa/hal tertentu, nggak merangsang otak lo untuk bekerja mencari memori tertentu yang ada dia-nya. Serta semua hal biasa saja yang bahkan cenderung tidak lo perhatikan padahal mungkin lo temui tiap hari. Namun, setelah ketemu dia, semua hal jadi tampak baru dan menarik untuk diperhatikan karena lo lakukan/temukan bersama dia. Semua karena lo memposisikan diri lo sebagai bejana kosong sedangkan kehadiran mereka mengisi kekosongan itu. Bahkan, lo yang membiarkan mereka mengisi diri lo atau sengaja menyodorkan diri lo untuk diisi mereka. Padahal, bagi mereka, ya mereka cuma melakukan apa yang mereka mau dan bisa aja tanpa bermaksud menjadi pengisi kekosongan itu.

Waktu awal-awal ketemu orangnya, ya nggak pernah muncul di benak lo kalau dia yang bisa bikin lo jungkir balik. Atau lo habis patah hati dan sudah mengantisipasi, “Ah, nggak usah naksir-naksir, deh. Akan sama aja kayak yang kemarin-kemarin.” Jadi, sekali atau beberapa kali ketemu sih ya nggak merasa apa-apa. Mau dia pulang ngesot kek, mau dia lagi guling-gulingan di rel kereta kek, mau dia makan racun kek, mau dia suka kelupaan barang atau kebiaaan-kebiasaan bodohnya dia, nggak pernah tuh lo tekan tombol ‘rekam’ dan ‘simpan’ adegan-adegannya ke otak lo. Lalu tiba-tiba ada satu kejadian sama dia yang bikin perut lo kayak berisi dinosaurus-dinosaurus lagi lari dari perut menuju dada. Terus lo usaha terus deh bagaimana caranya dia bisa ada di antara 24 jam per hari dalam hidup lo. Semua adegan yang ada dia-nya otomatis terekam dan tersimpan. Frame by frame.

Lalu seterusnya sekian detik aja nggak pernah cukup. Maunya setiap detik bisa bersama dia. Setidaknya, sebanyak-banyaknya detik harus sama dia. Kalau lagi nggak ada dia dan lo lagi sama orang lain, random aja mau menyebutkan namanya padahal lagi ngomongin hal yang belum tentu ada hubungannya sama dia. Lalu kalau lagi sendirian, otak otomatis menayangkan semua yang berhasil terekam deh. Baca-baca ulang pesannya di messenger. Lalu lo senyum-senyum sendiri. Atau diikuti pertanyaan-pertanyaan, “Ini maksudnya apa ya?” Lo tanya teman curhat lo, dia bilang, “Ya yang terbaik aja. Ya dinikmati aja.” ditambah wejangan supaya bisa terima kalau ternyata memang nggak ada maksud apa-apa. Lo penasaran dan akhirnya lo tanya dia. Terus dia bilang, ya nggak ada maksud apa-apa. Memang itu yang dilakukan teman. Lo iya-iya aja, rada sedih juga sih, tapi lo menolak untuk percaya, karena lo masih berharap kalau kali ini akan berbeda dari biasanya. Lalu, lo kembali usaha dan semua terasa makin baik dan makin indah, sampai akhirnya lo tau dari orang lain, bahkan tau dari e-mail berupa notifikasi Facebook –yang biasanya jarang-jarang dikirimi, bahwa dia udah jadian sama orang lain. Terlalu ekstrim sih, hahaha. Ya sebut saja kalau ternyata dia tertariknya menjalin hubungan sama orang lain.

Awalnya cuma bisa ketawa. Sampai akhirnya lo ngerasa kayak jatuh ke dalam lubang gelap dalam tapi nggak sampai-sampai ke dasarnya. Jatuh tapi belum sampai terbentur apa-apa. Jatuh aja. Terus. Belum berasa sakitnya. Namun, lo menanyakan hal yang sama terus-terusan. Masa sih nggak berarti apa-apa? Masa sih? Dia mau diajak makan dan nonton berdua. Dia beberapa kali mengusap kepala lo dan menyandarkan kepalanya di bahu. Dia mau mengolesi obat memar setelah lo jatuh. Dia yang mengingatkan lo supaya nggak malas jalan kaki dan mengurangi makan-makanan cepat saji (kecuali warteg, katanya). Semua lo pertanyakan. Setelah curhat hal yang sama sejuta kali sama teman sampai lo jadi kasihan sama dia, tiba-tiba lo sadar kalau dia juga melakukan itu ke banyak orang. Ya memang dia baik aja. Ya memang dia mau jadi teman yang baik aja. Ya memang dia senang jadi temen main lo aja. Masih untung dia nggak menjauh atau menghindar atau menolak untuk berteman dengan lo.

Ya memang lo aja yang bikin persepsi sendiri di kepala tentang kalian sehingga lo menolak bahwa ada persepsi lain atau bahkan kenyataannya sekalipun. Tiba-tiba lo merasa perlu menjadi gila. Cuma ternyata lo nggak cukup berani buat gila, jadinya lo cuma bisa mengakui kalau lo bodoh. Bahwa sebenarnya lo naif, ge-er, dan penasaran. Lalu lo marah sendiri karena ternyata persepsi lo berbeda dengan persepsi dia, dan dengan kenyataan. Marah karena semua berjalan tidak seperti yang lo bayangkan dan harapkan. Marah karena ternyata dia tetap baik padahal lo sudah menuduh dan menyalahkan dia mengacak-acak hidup lo, padahal dia cuma menjadi dirinya sendiri dan sudah mengasih yang terbaik buat lo sebagai temannya.

Lalu lo menarik diri dan menjauh.

Menyalahkan orang yang kita tuduh bikin kita ge-er karena dia memang mau baik dan perhatian sama lo, karena dia memang sayang sama lo tapi tidak seperti yang lo harapkan, apa nggak terlalu egois ya? Kayaknya sama kejamnya sama pemerkosa menyalahkan korban karena korbannya pakai rok mini, pakai atasan yang belahan dadanya terlihat, atau seandainya sang korban mas-mas yang telanjang dada dan pakai celana di bawah pinggang, misalnya. Padahal semua karena lo yang ge-er, karena lo terlalu mudah menginterpretasikan perhatiannya menjadi sesuatu yang lebih, dan karena lo menjadikan dia prioritas dan berharap dia akan melakukan hal yang sama. Siapa suruh ngarep?

Selain menyalahkan diri sendiri, ada aja waktu buat menyalahkan dia. Apalagi setelah lo kembali ke hari-hari lo yang berasa selalu sendiri itu. Merasa helpless karena sebagian diri lo ikut pergi seiring kepergian dia (padahal elo yang menjauh). Terus tiap hari butuh pendistraksi pikiran dan perasaan. Bukan makin baik malah makin nge-drop. Lo maki-maki dia di semua jejaring sosial yang lo punya, bikin diri lo sendiri menyedihkan, nyanyi lagu The Script yang Break Even karena menganggap dia nggak peduli juga lo mau ngerasa dan berpikir apa tentang dia. Cuma liat korek api, terus lo sedih sendiri cuma gara-gara dia pernah memberikan lo korek api. Ketika memang mau nggak mau jalan kaki, terus lo sedih sendiri karena biasanya ada yang maksa dan menemani jalan kaki. Semuanya deh. Terus lo copy-paste kalimat I was fine before I met you ke kotak ‘compose tweet’ karena lo merasa itu mewakili keadaan dan perasaan lo.

Setelah ditertawakan waktu, tiba-tiba sadar sendiri. Layaknya Sherlock Holmes yang akhirnya menemukan kepingan puzzle yang terlewat, padahal kepingannya selalu ada di situ dan nggak kemana-mana. Cuma nggak disadari dan terlewatkan begitu saja. Tunggu deh, I was fine before I met you?

Kalau

gue

bisa

baik-baik

aja

sebelum

gue

ketemu

dia,

bukannya harusnya sekarang gue juga bisa baik-baik aja tanpa dia?

Bisa kok, harusnya bisa. Cuma soal mau dan nggak mau aja. Cuma soal menerima kalau dunia dia emang bukan lo doang. Cuma soal menerima kalau bukan elo yang dia mau untuk bikin hidupnya jungkir balik. Bahwa memang sama lo dia bisa senang, tapi dia punya kebutuhan senang yang lain dengan orang yang dia pilih. Jika memang harus terjadi ya terjadilah.

Hampir sama kayak dulu kita bisa baik-baik aja waktu belum ada HP, belum ada internet, dan teknologi canggih lainnya. Begitu mereka ada, sekarang susah banget kayaknya kalau HP ketinggalan atau kalau internet di kantor/rumah/tempat nongkrong lagi down. Lalu, apa berarti keberadaan HP, internet, dan lain-lainnya itu perlu disesali? Meski sekarang dikit-dikit buka HP, lagi ngumpul bareng teman tapi malah sibuk dengan HP masing-masing, atau butuh internet tanpa mengenal waktu, tapi bukan berarti HP, internet, dan teknologi ini perlu dihilangkan dan dimusnahkan kan? Cuma perlu lebih bijak aja mengelolanya dan nggak perlu gila kalau lagi nggak ada dua hal itu.

Mungkin begitu juga seharusnya mengelola memori dan perasaan. Kayak lirik “Lost Stars”-nya Begin Again aja, don’t you dare let our best memories bring you sorrow. Kehadiran orang lain tuh dipastikan bisa mengubah hidup kita dan sebagainya. It’s inevitable. Namun nggak perlu membuat diri sendiri hancur juga karena menganggap orang lain yang menentukan hidup kita baik atau sengsara. Ya yang menentukan kita harus tetap waras ya diri sendiri.

Well, dulu gue pernah menulis, pengalaman dan pengetahuan pernah sayang sama orang lain itu ibarat membuat tato. Ketika berakhir luka dan nggak enak, mau berusaha dihapus dengan cara apapun, ya nggak bisa aja. Cuma bisa menyerahkan semuanya sama waktu dan Tuhan, kalau lo percaya. Time heals almost everything. Jadi, seiring berjalannya waktu ya cuma persepsi kita aja yang bisa berubah tentang makna tatonya. Mungkin dari suatu hal yang kita sesali, jadi sesuatu yang bisa kita syukuri karena kita pernah punya tato itu.

Ya nggak tahu sih apakah perasaan atau urusan hati bisa disamakan sama teknologi, tapi ya dicoba dulu aja. Namanya juga hidup. Ini pun gue tulis pas lagi agak positif aja. Nanti juga kalau lagi bego, kecele, dan terjebak perasaan, ya korsleting lagi juga. Hahahaha.

Enough Years Wasted

Memasuki bulan Desember 2012 kemarin, semangat untuk bekerja mulai kendur. Atas dasar alasan A, B, C, D, hawa bulan Desember itu adalah hawa-hawanya santai dan bermalas-malasan. Jadilah pertarungan antara membiarkan diri bermalas-malasan dengan tuntutan membereskan beberapa hal yang sebaiknya sudah dibereskan sebelum pergantian tahun. Pertarungan berlangsung seimbang: beberapa hal berhasil dituntaskan, beberapa lagi tersingkirkan sementara oleh rasa malas (seharian hanya makan, nonton drama korea, dan tidur).

Malam pergantian tahun dirayakan dengan makan shabu-shabu homemade bersama keluarga. Berhasil (sok-sok) bikin toast dengan white wine. Sisanya tidur, melanjutkan nonton drama korea, dan santai-santai. Seolah-olah pada dua hari penting itu, waktu diciptakan hanya untuk disia-siakan. Lagi-lagi ada pertarungan: di satu sisi merasa tidak tahu harus merasa apa, di sisi lain ada rasa syukur yang gengsi diutarakan. Sedikit khawatir, kalau tahun yang baru akan sama saja: menjadi tahun yang dilewati begitu saja. Sudah tidak sanggup lagi bikin resolusi, karena masih tetap belum punya mimpi. Membayangkan diri ini membayangkan masa depan saja, rasanya sulit sekali. Masih berpegang teguh pada prinsip ya-sudahlah-ikut-saja.

Image

Namun, hari ini, setelah beberapa momen terjadi, saya mulai berpikir bahwa sepertinya prinsip lihat-saja-nanti sudah harus mulai dikurangi. Mungkin, yang bikin saya merasa kosong dan buntu karena saya tidak lagi merasakan ‘berhasil’, tidak juga merasakan ‘gagal’. Semua terjadi karena ya-sudah-begitu-saja, karena tidak punya patokan keberhasilan ataupun kegagalan terhadap apa yang saya kerjakan. Terlalu banyak rencana yang tidak pernah berhasil diwujudkan, karena sudah keburu gelisah dan ketakutan dalam pikiran. Takut salah, takut gagal, dan takut-takut lainnya. Semua dilewati hanya karena harus dilewati.  Seperti saat ini hidup, hanya karena belum bisa mati. Hasilnya, muncul keinginan kembali untuk berefleksi dan membuat resolusi. Jadilah tulisan ini.

Sebelum mencatat resolusi atau ambisi yang ingin mulai dikejar per 2013, ada inginnya mengeluarkan catatan terlebih dahulu tentang beberapa hal yang terjadi pada 2012. Lagi-lagi, sebagai tahun yang tanpa ekspektasi, memasuki 2012 hanya berarti satu: lulus dari kampus. Awal tahun lalu hanya diisi kombinasi upaya saya menyusun bab I skripsi dengan persiapan Bulan Film Nasional 2012. Angan-angan untuk bisa lulus 3,5 tahun, lalu sisa ½ tahunnya akan dipakai berlibur dan santai-santai, ambyar sudah. Antara ketagihan dan keteteran karena malas menyeimbangkan pengerjaan skripsi dengan kerjaan.

Maret 2012, itu jadi Bulan Film Nasional pertama yang dikerjakan tanpa manajer kami yang dulu. Kembali jadi programmer, kali ini untuk program dokumenter. Mencoba menyajikan film-film dokumenter Indonesia yang menerapkan gaya observasional dan partisipatif. Cukup puas meski setelah dipikir-pikir lagi, masih banyak yang harus dievaluasi. Banyak belajar, entah dari konten yang dikerjakan, maupun dari pelaksanaan kegiatannya. Meski jadi agak kapok memegang dua kerjaan sekaligus.

Setelah Bulan Film Nasional selesai, niat mengerjakan skripsi kembali terdistraksi dengan antusiasme menyambut hampir selesainya restorasi film Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail tahun 1950. Sampai awal Juni, sedikit terlibat dalam persiapan pemutaran film tersebut di Jakarta, tetapi cukup menyita banyak waktu dan pikiran. Lagi-lagi banyak belajar dari keterlibatan ini, mulai dari pengalaman bekerja dengan orang-orang berpengalaman, sampai mengantar undangan ke rumah orang-orang sehingga harus mempelajari rute yang efektif dan efisien.

Usai bereuforia atas film Lewat Djam Malam yang sudah direstorasi, pertengahan Juni benar-benar harus mau tidak mau menuntaskan skripsi. Dengan tekad yang sok untuk menyelesaikan skripsi dalam waktu sebulan, ternyata saya malah digampar kenyataan: dosen pembimbing yang marah dan kecewa karena saya ‘menghilang’ dan skripsi belum juga ada peningkatan, sehingga saya mendapat ganjaran tidak bisa lulus tepat waktu. Nangis-nangis di depan (semacam) dosen konseling, di depan teman-teman dan dosen lain, ngablu tiga hari, sampai akhirnya mulai mengerjakan lagi. Menonton teman-teman sidang skripsi sampai satu per satu dari mereka akhirnya sudah bergelar S.I.Kom. Sedangkan saya masih berkutat dengan revisi-revisi, bahkan ketika masa berlaku kartu mahasiswa saya sudah habis.

Entah mukjizat dari mana, ternyata walaupun tidak lulus tepat waktu, tapi saya masih bisa wisuda bareng teman-teman seangkatan. Hanya perlu bayar uang perkuliahan satu semester tambahan. Sidang 22 Oktober 2012, deadline pengumpulan skripsi yang sudah direvisi dan hard cover 5 November 2012, wisuda 24 November 2012. Sesudah itu, kembali bekerja di tempat kerja masing-masing. Sudah, sepertinya itu saja.

Tahun 2012 harus jadi tahun terakhir untuk buang-buang waktu dan tahun 2013 harus jadi tahun ‘pertama’ untuk fokus belajar tentang sinema. Entah bagaimana caranya. Semua harus bisa, kalau memang mau. Kalau kata idola saya, “Stress nggak apa-apa, asal ada hasilnya.” Jadi, atas dasar itu, maka target 2013 saya, antara lain,

1.    Membaca minimal 2 buku tentang sinema

2.    Menulis minimal 2 resensi film

3.    Menonton 1/5 dari total film di hard disk eksternal yang belum ditonton

4.    Membaca buku Komposisi-nya  Gorys Keraf dan diterapkan dalam tulisan yang dibuat :p

5.    Menemukan target dan rencana mau lanjut sekolah atau belajar formal di mana

6.    Mengurangi satu tingkat kemalasan dan kesukaan menunda-nunda pekerjaan, fokus

7.    Lebih rapih dan bersih (baik dalam merawat diri sendiri maupun terhadap lingkungan sekitar)

8.    Berusaha keras buat hidup cukup, mengurangi tanggungan babe sama tante-tante, syukur-syukur bisa ngasih mereka macem-macem

9.    Membuat minimal 1 program film

10. Pergi ke satu kota di negara lain dan satu kota lain selain Jakarta, lalu harus bikin tulisan perjalanan

Itu dulu saja, deh. Belum kepikiran lagi. Semoga tidak terlalu ambisius, tetapi juga jangan terlalu tidak berambisi. Semangat! Tahun ini sudah berusia 22 tahun, yang semakin ke depan (katanya) usia akan semakin terasa cepat berganti. Semoga semangatnya nggak cuma pas awal-awal tahun, tapi juga terus-terusan! Selama ini cuma punya target dan membayangkan diri sudah mencapai target, sehingga lupa melakukan yang perlu dilakukan untuk mencapai target secara nyata, atau keburu takut targetnya tidak tercapai.

Tahun ini tahun mengurangi rasa takut, terutama takut salah dan takut gagal. Satu hal yang saya lupa syukuri adalah bagaimana saya bisa berada di mana saya berada sekarang. Apalagi dengan kondisi otak, yang baru ketahuan tidak sesuai ‘standar’, setelah 20 tahun hidup. Jadi, sebelum makin kenapa-kenapa dan untuk mencegah saya semakin ‘lemah’ setelah mengetahui hal tersebut, maka lewat tulisan ini saya bertekad untuk mengurangi menyia-nyiakan apapun dalam hidup saya. Kecuali hidup saya memang ditakdirkan sia-sia, hehe.

 

Jembatan Lima, 6 Januari 2013

Surealis itu Skripsi

Selama 21 tahun sekian bulan saya hidup, selain pengalaman-pengalaman skip saya akibat bentuk fisik otak saya yang tidak 100%, pengalaman paling surreal bagi saya adalah pengalaman menyelesaikan skripsi. Menyelesaikan skripsi menjadi proses yang kalau saya ingat-ingat lagi, akan selalu bikin saya heran bagaimana proses itu bisa saya lewati. Ibaratnya putus dari pacar, mengerjakan skripsi itu adalah fase move on-nya. Waktu ngejalanin kok rasanya nggak selesai-selesai, gak tuntas-tuntas, tapi tanpa dirasa-rasa dan disadari, tau-tau sudah selesai, sudah sidang, dan lalu sudah mau diwisuda.

Mungkin yang bikin pengalaman mengerjakan skripsi saya jadi surreal adalah karena saya terlalu meremehkan dan menganggap enteng proses mengerjakan skripsi. Entah ini alibi atau tidak, tetapi bagi saya, proses mengerjakan skripsi yang ‘apa adanya’ menjadi bentuk protes saya dengan sistem kampus yang juga sangat ‘apa adanya’ dalam menyiapkan kami mengerjakan skripsi dengan baik. Pikir saya, berhak apa kampus menuntut kami membuat skripsi yang ideal jika toh mereka juga nggak berhasil ‘mengajar’ kami secara ideal? Yang kemudian membuat saya berpikir, bahwa kami akan jadi sarjana lulusan S1, tapi dalam mata kuliah-mata kuliah sebelumnya, kami tidak dibiasakan berpikir sistematis, analitis, atau pola berpikir yang dibutuhkan seorang peneliti atau akademisi. Namun, kami lebih cenderung disiapkan membuat program TV yang handal, menulis berita yang baik, dan hal-hal lain yang lebih cocok untuk bekal sebagai pekerja media.

Atas dasar itu lah, saya tidak mau membuat skripsi yang muluk-muluk agar bisa selesai lebih cepat. Namun ternyata, untuk membuat skripsi yang ‘asal-asalan’ saja ternyata tetap butuh waktu. Jadi, di saat detik-detik terakhir pengumpulan skripsi, saya diprediksi tidak bisa menyelesaikan skripsi tepat waktu sehingga akhirnya saya diharapkan untuk bisa ‘legowo’ menerima bahwa saya mungkin bisa tidak lulus tahun ini (padahal jarak pengumpulan skripsi terakhir dengan waktu wisuda masih ada sekitar 3,5 bulan). Dan ada cerita lain lagi tentang bagaimana saya melewati detik-detik menyedihkan itu.

Yang tadinya saya rencanakan bisa lulus 3,5 tahun, gagal. Yang tadinya saya rencanakan bisa lulus tepat waktu dengan menyelesaikan skripsi seadanya dengan ngebut, gagal. Yang saya bayangkan saya bisa membuat skripsi yang “saya banget”, gagal. Yang tadinya saya bayangkan saya masih punya uang tabungan sekitar 2,5 juta karena masih ada sisa uang beasiswa saya yang belum kepakai, gagal, karena saya harus bayar biaya SKS semester baru. Semua yang saya prediksikan dan bayangkan tentang lulus dari kampus ini dengan riang, ternyata sangat berlainan dengan kenyataannya.

Image

Namun, hanya butuh waktu sekian hari untuk akhirnya saya kembali melanjutkan dan menyelesaikan skripsi saya. Mungkin, yang bikin proses mengerjakan skripsi ini menjadi begitu surreal adalah saya merasa begitu sendirian saat mengerjakannya. Bukan karena saya tidak punya pasangan yang bisa nemenin mengerjakan skripsi (walaupun pernyataan teman saya, Windu, bahwa kita lebih butuh pendamping dalam mengerjakan skripsi daripada pendamping pas wisuda, terasa benar bagi saya), tapi karena saya berada di gelombang yang berbeda dengan teman-teman saya. Di saat teman-teman saya sibuk bimbingan dan kesana kemari mencari referensi buku, saya lagi ada kerjaan lain. Di saat teman-teman saya sudah tinggal mengerjakan abstraksi, saya baru mau mulai mencari konsep-konsep teori. Ketika teman-teman saya sudah boleh teriak lega, saya baru merasakan skripsi terbawa mimpi. Ketika teman-teman saya sudah mencari kerja, saya masih mencari waktu untuk bimbingan.

Jadi, di saat teman-teman cenderung mengisolasi diri dan menyerahkan hampir sekian minggunya untuk begadang, bimbingan secara intens, saya masih bisa mengerjakan skripsi sambil diselingi menonton film atau teater. Apalagi dosen pembimbing saya bukan orang yang bisa diajak bimbingan intens setiap hari. Kemudian, ketika saya mengumpulkan skripsi (saya tidak tahu kalau hari itu adalah deadline pengumpulan skripsi gelombang pertama di semester baru), tidak ada kepanikan-kepanikan juga rasa lega yang luar biasa. Atau, sehari sebelum sidang, saya masih sempat menonton pertunjukkan teater dan baru menyiapkan materi H-sekian jam (salah bawa bahan skripsi pula, ternyata). Di mana ketika sidang, saya bisa merasa begitu ngantuk sehingga begitu ngelantur dalam menjawab pertanyaan penguji. Yang ketika dinyatakan lulus, saya cuma bisa teriak “faaaaak” atau perasaan ingin teriak “aaaaak” sebagai konsekuensi kebingungan, “Sudah lewat, nih?”. Seperti ada sesuatu di luar saya yang menggerakkan badan saya, mulut saya, otak saya, sedangkan saya sendiri merasa selama ini hanya tidur saja. Bahkan saya heran kenapa saya nggak kepengen mengganti status BBM saya dengan “S. I. Kom” pakai smiley dan lain-lain. It’s so fucking surreal.

Pada akhirnya, mungkin ini seperti pernyataan Robert Frost yang pernah dikutip seorang teman di status BBM-nya, bahwa “the best way out is always through it.” Dan syukurlah, dari pengalaman paling surreal ini, ada begitu banyak dukungan dan kasih sayang yang saya rasakan dari orang-orang terdekat, dan bahkan sekalipun sama yang tidak dikenal. Jadi, rasa syukur ini bukan sekedar karena saya berhasil melewati, tapi bersyukur karena saya dikelilingi orang-orang baik hati luar biasa ketika melewatinya :)

Oktober 22nd, 2012.

Double for Single

Tidak banyak yang bisa diceritakan. Hal ini disebabkan dua hal: memang tidak banyak hal yang terjadi sebagai bahan cerita, atau justru terlalu banyak yang disimpan, yang begitu ada kesempatan untuk dikeluarkan, malah tidak ada yang keluar sama sekali karena tidak ingin kelewatan satu hal pun untuk diceritakan.

Pola hidup saya belakangan agak berubah. Tidur pukul setengah enam pagi, bangun pukul satu siang, bahkan pernah bangun pukul empat sore. Baru bekerja di rumah sampai pagi lagi, atau keluar rumah baru jam empat sore, yang selalu memancing pertanyaan mbak gado-gado atau abang ojek depan rumah, “baru mau berangkat? mau kemana?”. Sedangkan muka saya udah pasang template senyum manis, tapi protes di dalam hati.

Well, soal pekerjaan, keluar-masuk rumah, dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terlalu saya sukai punya cerita sendiri. Namun kali ini cuma ingin mengungkapkan betapa saya ketagihan dan menikmati tidur di pagi hari dan pengaruhnya terhadap waktu pola hidup saya yang jadi berlawanan dengan orang pada umumnya. Namun saya cuma bisa menerapkan pola ini ketika sedang sendiri di rumah. Sensasi sepi, tidak ada yang peduli, timeline twitter pun tidak seramai di waktu biasanya. Isolasi fisik yang nikmat menenangkan, rasa lelah dan kantuk yang tertahan, pemaksaan, gerakan melenturkan badan karena pegal, kesendirian yang tidak sendiri. Entah, tapi situasinya membuat saya ketagihan.

Setelah itu biasanya masuk kamar tidur dengan kepala berat. Tidur bukan sebagai kebiasaan tapi sebagai kebutuhan yang amat sangat primer, dan perasaan akan itu. Kipas angin tidak menyala, tidak masalah. Tidak juga perlu kasur, bantal kepala, maupun bantal guling yang sempurna, karena selama butuh tidur, situasinya tetap bagai surga. Masalahnya, ranjang saya masih ukuran dua orang, karena bekas ranjang ayah dan istrinya. Di satu sisi menjadi terlalu luas buat saya. Di sisi yang lain karena terlalu luas, saya manfaatkan dengan eksplorasi kesana-kemari sehingga tidak mubazir. Perasaan lain yang adiktif adalah ketika tidur jam enam pagi tetapi seringkali terbangun pukul delapan pagi. Bangun dengan kepala berat (ditambah kemampuan otak saya yang cuma 7/8 saja), di ambang batas sadar dan tidak sadar yang nyaman, meraba-raba kasur yang amat luas, mata terbuka sedikit demi sedikit dan berkedip pelan berulang kali karena tidak siap sepenuhnya akan cahaya matahari tipis yang masuk ke kamar, kepala menjadi sedikit pening, mencoba menyadari di kamar itu sendiri, di rumah itu sendiri, tapi tidak merasa sedih atau menyedihkan.

Lalu kemudian tidur lagi jika tidak ada kegiatan yang harus diburu. Kadang, di antara sadar dan tidak sadar itu, seringkali melihat ke arah sisi ranjang sebelah saya. Berharap ada yang seperti ini:

Hahaha. Sexy, huh? Well, ternyata yang ada cuma bantal guling dan tumpukan bantal kepala, dan Hermes, yang waktu tidur saya peluk, pas bangun udah kelempar kemana tau. Ya, berharap suatu saat bisa membuka mata dan ternyata di sebelah saya ada orang, tapi kalau ternyata belum ada, ya tidak apa-apa. Entah naif atau tidak, kemudian yang bikin jadi kenapa-kenapa memang selalu apa-kata-orang. Jadinya, buat saya, sendiri atau tidak sendiri bukan soal bahagia atau tidak bahagia, hanya perasaan dan pengalaman yang berbeda.

Sampai saya menulis ini, saya masih ketagihan akan imajinasi dan imaji di kepala saya tentang perasaan-perasaan saya tadi. Rasanya malam, rasanya sendiri, rasanya sadar dan tidak sadar di kasur sendiri, rasanya mengerjapkan mata, menghadap sisi ranjang yang satu lagi. Hmm, mungkin kalau Mama masih ada, pasti doi bilang, “kebanyakan nonton film, nih..” Ya, bener, sih. Ya, mungkin saya lagi kasmaran dengan imaji-imaji di benak saya tentang malam, pagi, kurang tidur, sakit kepala, dan ranjang. Toh, saya menikmati.