Double for Single

Tidak banyak yang bisa diceritakan. Hal ini disebabkan dua hal: memang tidak banyak hal yang terjadi sebagai bahan cerita, atau justru terlalu banyak yang disimpan, yang begitu ada kesempatan untuk dikeluarkan, malah tidak ada yang keluar sama sekali karena tidak ingin kelewatan satu hal pun untuk diceritakan.

Pola hidup saya belakangan agak berubah. Tidur pukul setengah enam pagi, bangun pukul satu siang, bahkan pernah bangun pukul empat sore. Baru bekerja di rumah sampai pagi lagi, atau keluar rumah baru jam empat sore, yang selalu memancing pertanyaan mbak gado-gado atau abang ojek depan rumah, “baru mau berangkat? mau kemana?”. Sedangkan muka saya udah pasang template senyum manis, tapi protes di dalam hati.

Well, soal pekerjaan, keluar-masuk rumah, dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terlalu saya sukai punya cerita sendiri. Namun kali ini cuma ingin mengungkapkan betapa saya ketagihan dan menikmati tidur di pagi hari dan pengaruhnya terhadap waktu pola hidup saya yang jadi berlawanan dengan orang pada umumnya. Namun saya cuma bisa menerapkan pola ini ketika sedang sendiri di rumah. Sensasi sepi, tidak ada yang peduli, timeline twitter pun tidak seramai di waktu biasanya. Isolasi fisik yang nikmat menenangkan, rasa lelah dan kantuk yang tertahan, pemaksaan, gerakan melenturkan badan karena pegal, kesendirian yang tidak sendiri. Entah, tapi situasinya membuat saya ketagihan.

Setelah itu biasanya masuk kamar tidur dengan kepala berat. Tidur bukan sebagai kebiasaan tapi sebagai kebutuhan yang amat sangat primer, dan perasaan akan itu. Kipas angin tidak menyala, tidak masalah. Tidak juga perlu kasur, bantal kepala, maupun bantal guling yang sempurna, karena selama butuh tidur, situasinya tetap bagai surga. Masalahnya, ranjang saya masih ukuran dua orang, karena bekas ranjang ayah dan istrinya. Di satu sisi menjadi terlalu luas buat saya. Di sisi yang lain karena terlalu luas, saya manfaatkan dengan eksplorasi kesana-kemari sehingga tidak mubazir. Perasaan lain yang adiktif adalah ketika tidur jam enam pagi tetapi seringkali terbangun pukul delapan pagi. Bangun dengan kepala berat (ditambah kemampuan otak saya yang cuma 7/8 saja), di ambang batas sadar dan tidak sadar yang nyaman, meraba-raba kasur yang amat luas, mata terbuka sedikit demi sedikit dan berkedip pelan berulang kali karena tidak siap sepenuhnya akan cahaya matahari tipis yang masuk ke kamar, kepala menjadi sedikit pening, mencoba menyadari di kamar itu sendiri, di rumah itu sendiri, tapi tidak merasa sedih atau menyedihkan.

Lalu kemudian tidur lagi jika tidak ada kegiatan yang harus diburu. Kadang, di antara sadar dan tidak sadar itu, seringkali melihat ke arah sisi ranjang sebelah saya. Berharap ada yang seperti ini:

Hahaha. Sexy, huh? Well, ternyata yang ada cuma bantal guling dan tumpukan bantal kepala, dan Hermes, yang waktu tidur saya peluk, pas bangun udah kelempar kemana tau. Ya, berharap suatu saat bisa membuka mata dan ternyata di sebelah saya ada orang, tapi kalau ternyata belum ada, ya tidak apa-apa. Entah naif atau tidak, kemudian yang bikin jadi kenapa-kenapa memang selalu apa-kata-orang. Jadinya, buat saya, sendiri atau tidak sendiri bukan soal bahagia atau tidak bahagia, hanya perasaan dan pengalaman yang berbeda.

Sampai saya menulis ini, saya masih ketagihan akan imajinasi dan imaji di kepala saya tentang perasaan-perasaan saya tadi. Rasanya malam, rasanya sendiri, rasanya sadar dan tidak sadar di kasur sendiri, rasanya mengerjapkan mata, menghadap sisi ranjang yang satu lagi. Hmm, mungkin kalau Mama masih ada, pasti doi bilang, “kebanyakan nonton film, nih..” Ya, bener, sih. Ya, mungkin saya lagi kasmaran dengan imaji-imaji di benak saya tentang malam, pagi, kurang tidur, sakit kepala, dan ranjang. Toh, saya menikmati.

2 respons untuk ‘Double for Single

Tinggalkan komentar