I Was Fine Before I Met You

Pada tahun 2011 –kalau tidak salah ingat, gue dikasih tahu seorang teman soal serial “The L Word”. Serial berkisah seputar kehidupan sekelompok lesbian yang berlatar di California, Los Angeles. Di serial ini, gue suka banget sama salah satu pasangan: Bette Porter dan Tina Kennard. Mereka diceritakan telah menjadi pasangan dan hidup bersama selama tujuh tahun. Tentunya di serial ini mereka melalui banyak hal: suka duka menjadi pasangan lesbian, berpisah layaknya pasangan manapun, memutuskan punya dan mengasuh anak, sampai akhirnya mereka bersama lagi. Waktu mereka lagi tidak menjadi pasangan, Tina sempat penasaran bagaimana rasanya berhubungan lagi sama laki-laki. Bette, yang pernah menjadi kurator galeri seni, sempat pacaran dengan seorang seniman tuna rungu bernama Jodi Lerner. Mereka bertemu waktu sama-sama mengajar seni rupa di salah satu universitas. Namun, hubungan mereka harus berakhir karena ternyata antara Bette dan Tina masih ada yang belum ‘kelar’. Waktu Jodi meminta Bette meluruskan apa yang salah dengan relasi mereka sampai Bette lebih memilih kembali sama Tina, dia sempat bilang, “I was fine before I met you.” Salah satu adegan yang membuat perut dan dada gue terasa hampir ngilu tapi tidak sampai benar-benar ngilu. Ngilu nanggung.

Kenapa Jodi bisa bilang begitu? Inilah analisis sok tahu gue yang akan berlanjut ke curhatan gue.

Jadi, peran Jodi di serial ini adalah seorang yang ‘bebas’. Singkatnya, dia tidak suka terikat karena itu bisa mengekang kebebasannya. Tidak suka terikat peraturan, termasuk tidak mau terikat sama pasangannya meskipun mereka adalah pasangan. Beda sekali sama Bette yang ingin semua hal berada dalam kontrol dan tampak sempurna berdasarkan anggapan dia. Sebagai tokoh yang baru muncul di musim ke empat, Jodi dikesankan sebagai sosok yang harusnya membuat hidup Bette –yang muncul dari musim pertama, jungkir balik. Semua aturan-aturan yang Bette buat supaya tidak pernah ada kata salah dalam hidupnya, ‘dilanggar’ semua sama Jodi. Meskipun awalnya Bette tidak bisa menerima perbedaan dan gesekan-gesekan yang ia alami sama Jodi, tapi toh cinta mengalahkan segalanya. Sampai akhirnya, produser The L Word yang menjungkirbalikan segalanya. Saat penonton mengira Jodi telah menjungkirbalikan hidupnya Bette (dan mungkin memang), kenapa pada akhirnya Bette memilih jungkir balik hidup sama Tina lagi?

Di saat itulah, di semua situasi yang membuat penonton percaya bahwa Bette tampak tak berdaya di hadapan Jodi, produser tak ingin Bette kembali pada Tina tanpa meninggalkan simpati untuk Jodi. Ternyata Bette pergi saat Jodi siap melibatkan Bette dalam hidupnya. Yang mana, sebelum ketemu Bette, dia bergantung penuh sama dirinya sendiri untuk tiap keputusan yang dia buat. Bette pergi saat dia mulai peduli dan khawatir kalau Bette juga tampak khawatir, padahal sebelum ketemu Bette, dia cukup mengkhawatirkan dirinya sendiri –dan dia cenderung memilih untuk bebas dari kekhawatiran akan dirinya sendiri. Jadi lah, I was fine before I met you itu dilontarkan. Tanpa berharap dan mengira bahwa dia akan bertemu dan bahkan punya hubungan dengan Bette, ternyata orang ini malah membuat hidupnya jungkir balik. Yang tadinya Jodi tidak suka terikat, akhirnya ia memutuskan untuk kompromi dengan kehadiran Bette –dan bukan orang lain, dalam hidupnya. Lalu, orang yang bikin jungkir balik ini malah pergi. Kan bera’?

Mungkin I was fine before I met you hanya frase lain dari You took my heart away atau Separuh jiwaku pergi atau Ada yang hilang dari perasaanku yang terlanjur sudah kuberikan padamu. Serta lagu-lagu lain yang mampu menyuarakan betapa sebagian dari diri lo ikut pergi orang yang (mungkin lo anggap) pergi dari lo. Sebelum ketemu dia, makan siang makan malam sendirian ya biasa saja. Sebelum ketemu dia, tanda messenger di push notification HP nggak ditunggu-tunggu amat. Sebelum ketemu dia, menonton film di bioskop sendirian ya sanggup-sanggup aja. Sebelum ketemu dia, semua barang/peristiwa/hal tertentu, nggak merangsang otak lo untuk bekerja mencari memori tertentu yang ada dia-nya. Serta semua hal biasa saja yang bahkan cenderung tidak lo perhatikan padahal mungkin lo temui tiap hari. Namun, setelah ketemu dia, semua hal jadi tampak baru dan menarik untuk diperhatikan karena lo lakukan/temukan bersama dia. Semua karena lo memposisikan diri lo sebagai bejana kosong sedangkan kehadiran mereka mengisi kekosongan itu. Bahkan, lo yang membiarkan mereka mengisi diri lo atau sengaja menyodorkan diri lo untuk diisi mereka. Padahal, bagi mereka, ya mereka cuma melakukan apa yang mereka mau dan bisa aja tanpa bermaksud menjadi pengisi kekosongan itu.

Waktu awal-awal ketemu orangnya, ya nggak pernah muncul di benak lo kalau dia yang bisa bikin lo jungkir balik. Atau lo habis patah hati dan sudah mengantisipasi, “Ah, nggak usah naksir-naksir, deh. Akan sama aja kayak yang kemarin-kemarin.” Jadi, sekali atau beberapa kali ketemu sih ya nggak merasa apa-apa. Mau dia pulang ngesot kek, mau dia lagi guling-gulingan di rel kereta kek, mau dia makan racun kek, mau dia suka kelupaan barang atau kebiaaan-kebiasaan bodohnya dia, nggak pernah tuh lo tekan tombol ‘rekam’ dan ‘simpan’ adegan-adegannya ke otak lo. Lalu tiba-tiba ada satu kejadian sama dia yang bikin perut lo kayak berisi dinosaurus-dinosaurus lagi lari dari perut menuju dada. Terus lo usaha terus deh bagaimana caranya dia bisa ada di antara 24 jam per hari dalam hidup lo. Semua adegan yang ada dia-nya otomatis terekam dan tersimpan. Frame by frame.

Lalu seterusnya sekian detik aja nggak pernah cukup. Maunya setiap detik bisa bersama dia. Setidaknya, sebanyak-banyaknya detik harus sama dia. Kalau lagi nggak ada dia dan lo lagi sama orang lain, random aja mau menyebutkan namanya padahal lagi ngomongin hal yang belum tentu ada hubungannya sama dia. Lalu kalau lagi sendirian, otak otomatis menayangkan semua yang berhasil terekam deh. Baca-baca ulang pesannya di messenger. Lalu lo senyum-senyum sendiri. Atau diikuti pertanyaan-pertanyaan, “Ini maksudnya apa ya?” Lo tanya teman curhat lo, dia bilang, “Ya yang terbaik aja. Ya dinikmati aja.” ditambah wejangan supaya bisa terima kalau ternyata memang nggak ada maksud apa-apa. Lo penasaran dan akhirnya lo tanya dia. Terus dia bilang, ya nggak ada maksud apa-apa. Memang itu yang dilakukan teman. Lo iya-iya aja, rada sedih juga sih, tapi lo menolak untuk percaya, karena lo masih berharap kalau kali ini akan berbeda dari biasanya. Lalu, lo kembali usaha dan semua terasa makin baik dan makin indah, sampai akhirnya lo tau dari orang lain, bahkan tau dari e-mail berupa notifikasi Facebook –yang biasanya jarang-jarang dikirimi, bahwa dia udah jadian sama orang lain. Terlalu ekstrim sih, hahaha. Ya sebut saja kalau ternyata dia tertariknya menjalin hubungan sama orang lain.

Awalnya cuma bisa ketawa. Sampai akhirnya lo ngerasa kayak jatuh ke dalam lubang gelap dalam tapi nggak sampai-sampai ke dasarnya. Jatuh tapi belum sampai terbentur apa-apa. Jatuh aja. Terus. Belum berasa sakitnya. Namun, lo menanyakan hal yang sama terus-terusan. Masa sih nggak berarti apa-apa? Masa sih? Dia mau diajak makan dan nonton berdua. Dia beberapa kali mengusap kepala lo dan menyandarkan kepalanya di bahu. Dia mau mengolesi obat memar setelah lo jatuh. Dia yang mengingatkan lo supaya nggak malas jalan kaki dan mengurangi makan-makanan cepat saji (kecuali warteg, katanya). Semua lo pertanyakan. Setelah curhat hal yang sama sejuta kali sama teman sampai lo jadi kasihan sama dia, tiba-tiba lo sadar kalau dia juga melakukan itu ke banyak orang. Ya memang dia baik aja. Ya memang dia mau jadi teman yang baik aja. Ya memang dia senang jadi temen main lo aja. Masih untung dia nggak menjauh atau menghindar atau menolak untuk berteman dengan lo.

Ya memang lo aja yang bikin persepsi sendiri di kepala tentang kalian sehingga lo menolak bahwa ada persepsi lain atau bahkan kenyataannya sekalipun. Tiba-tiba lo merasa perlu menjadi gila. Cuma ternyata lo nggak cukup berani buat gila, jadinya lo cuma bisa mengakui kalau lo bodoh. Bahwa sebenarnya lo naif, ge-er, dan penasaran. Lalu lo marah sendiri karena ternyata persepsi lo berbeda dengan persepsi dia, dan dengan kenyataan. Marah karena semua berjalan tidak seperti yang lo bayangkan dan harapkan. Marah karena ternyata dia tetap baik padahal lo sudah menuduh dan menyalahkan dia mengacak-acak hidup lo, padahal dia cuma menjadi dirinya sendiri dan sudah mengasih yang terbaik buat lo sebagai temannya.

Lalu lo menarik diri dan menjauh.

Menyalahkan orang yang kita tuduh bikin kita ge-er karena dia memang mau baik dan perhatian sama lo, karena dia memang sayang sama lo tapi tidak seperti yang lo harapkan, apa nggak terlalu egois ya? Kayaknya sama kejamnya sama pemerkosa menyalahkan korban karena korbannya pakai rok mini, pakai atasan yang belahan dadanya terlihat, atau seandainya sang korban mas-mas yang telanjang dada dan pakai celana di bawah pinggang, misalnya. Padahal semua karena lo yang ge-er, karena lo terlalu mudah menginterpretasikan perhatiannya menjadi sesuatu yang lebih, dan karena lo menjadikan dia prioritas dan berharap dia akan melakukan hal yang sama. Siapa suruh ngarep?

Selain menyalahkan diri sendiri, ada aja waktu buat menyalahkan dia. Apalagi setelah lo kembali ke hari-hari lo yang berasa selalu sendiri itu. Merasa helpless karena sebagian diri lo ikut pergi seiring kepergian dia (padahal elo yang menjauh). Terus tiap hari butuh pendistraksi pikiran dan perasaan. Bukan makin baik malah makin nge-drop. Lo maki-maki dia di semua jejaring sosial yang lo punya, bikin diri lo sendiri menyedihkan, nyanyi lagu The Script yang Break Even karena menganggap dia nggak peduli juga lo mau ngerasa dan berpikir apa tentang dia. Cuma liat korek api, terus lo sedih sendiri cuma gara-gara dia pernah memberikan lo korek api. Ketika memang mau nggak mau jalan kaki, terus lo sedih sendiri karena biasanya ada yang maksa dan menemani jalan kaki. Semuanya deh. Terus lo copy-paste kalimat I was fine before I met you ke kotak ‘compose tweet’ karena lo merasa itu mewakili keadaan dan perasaan lo.

Setelah ditertawakan waktu, tiba-tiba sadar sendiri. Layaknya Sherlock Holmes yang akhirnya menemukan kepingan puzzle yang terlewat, padahal kepingannya selalu ada di situ dan nggak kemana-mana. Cuma nggak disadari dan terlewatkan begitu saja. Tunggu deh, I was fine before I met you?

Kalau

gue

bisa

baik-baik

aja

sebelum

gue

ketemu

dia,

bukannya harusnya sekarang gue juga bisa baik-baik aja tanpa dia?

Bisa kok, harusnya bisa. Cuma soal mau dan nggak mau aja. Cuma soal menerima kalau dunia dia emang bukan lo doang. Cuma soal menerima kalau bukan elo yang dia mau untuk bikin hidupnya jungkir balik. Bahwa memang sama lo dia bisa senang, tapi dia punya kebutuhan senang yang lain dengan orang yang dia pilih. Jika memang harus terjadi ya terjadilah.

Hampir sama kayak dulu kita bisa baik-baik aja waktu belum ada HP, belum ada internet, dan teknologi canggih lainnya. Begitu mereka ada, sekarang susah banget kayaknya kalau HP ketinggalan atau kalau internet di kantor/rumah/tempat nongkrong lagi down. Lalu, apa berarti keberadaan HP, internet, dan lain-lainnya itu perlu disesali? Meski sekarang dikit-dikit buka HP, lagi ngumpul bareng teman tapi malah sibuk dengan HP masing-masing, atau butuh internet tanpa mengenal waktu, tapi bukan berarti HP, internet, dan teknologi ini perlu dihilangkan dan dimusnahkan kan? Cuma perlu lebih bijak aja mengelolanya dan nggak perlu gila kalau lagi nggak ada dua hal itu.

Mungkin begitu juga seharusnya mengelola memori dan perasaan. Kayak lirik “Lost Stars”-nya Begin Again aja, don’t you dare let our best memories bring you sorrow. Kehadiran orang lain tuh dipastikan bisa mengubah hidup kita dan sebagainya. It’s inevitable. Namun nggak perlu membuat diri sendiri hancur juga karena menganggap orang lain yang menentukan hidup kita baik atau sengsara. Ya yang menentukan kita harus tetap waras ya diri sendiri.

Well, dulu gue pernah menulis, pengalaman dan pengetahuan pernah sayang sama orang lain itu ibarat membuat tato. Ketika berakhir luka dan nggak enak, mau berusaha dihapus dengan cara apapun, ya nggak bisa aja. Cuma bisa menyerahkan semuanya sama waktu dan Tuhan, kalau lo percaya. Time heals almost everything. Jadi, seiring berjalannya waktu ya cuma persepsi kita aja yang bisa berubah tentang makna tatonya. Mungkin dari suatu hal yang kita sesali, jadi sesuatu yang bisa kita syukuri karena kita pernah punya tato itu.

Ya nggak tahu sih apakah perasaan atau urusan hati bisa disamakan sama teknologi, tapi ya dicoba dulu aja. Namanya juga hidup. Ini pun gue tulis pas lagi agak positif aja. Nanti juga kalau lagi bego, kecele, dan terjebak perasaan, ya korsleting lagi juga. Hahahaha.

Tinggalkan komentar