Warpaint

Intro

Adalah Shirley Tamara yang pertama kali mengenalkan saya pada Warpaint. Empat orang mbak-mbak nge-band. Kalau tidak salah ingat, bermula dari saya (karena satu dan lain hal) kesengsem sama Shannyn Sossamon, seorang aktris Ameriki yang diketahui kemudian bahwa dia adalah kakak dari salah satu personil Warpaint, Jenny Lee Lindberg. Dengan bantuan mesin pencari yang maha Google, akhirnya saya pun mendengarkan lagu Warpaint yang berjudul “Undertow”, mengetahui bahwa Shannyn juga pernah menjadi bagian dari Warpaint, dan dia pula yang menyutradari video klip “Undertow”. Sejak saat itu, saya mencoba mendengarkan lagu-lagu Warpaint lainnya. Ada yang langsung bisa saya terima, ada yang harus penuh usaha untuk menikmatinya, hehe. Namun, bukannya kapok, saya malah terus penasaran dan mencoba mengikuti setiap ada album dan lagu yang dirilis, serta klip-klip mereka di YouTube. Makin lama makin terpesona, meski belum seutuhnya mengenal.

Sebenarnya, kalau ditanya kenapa bisa nyangkut sama Warpaint, saya merasa nggak punya penjelasannya. Mengidentifikasi apa aliran musik mereka pun saya juga nggak tahu. Mungkin layaknya orang-orang yang saya taksir, saya cuma punya konsep di kepala saya aja bahwa saya suka mereka dan jatuh cinta dengan konsep itu sendiri. HA Ha ha. Atau mungkin bagi saya, sesederhana mereka cewek-cewek keren dari blok sebelah yang bisa mengisi titik-titik kosong kalau ada pertanyaan, “Saya ingin menjadi…”

Anyway… pada suatu hari di akhir tahun 2016, saya melihat sebuah pos di Instagram yang menginformasikan bahwa Warpaint akan tur konser di Australia. Iseng-iseng lah saya screen capture dan unggah di Path. Tidak lupa tag Shirley dengan maksud ‘menggodanya’, mengajak ia untuk mengejar menyaksikan penampilan Warpaint secara langsung di negara kangguru tersebut. Tentunya buat saya pribadi jadi bahan mimpi di siang bolong saja. Namun, selang beberapa waktu, saat sedang iseng-iseng membuka bagian Explore di Instagram, tadaaaaaa… ada satu pos yang menyedot perhatian mata saya bertuliskan (kira-kira) begini, “FRIDAY, 17th FEBRUARY 2017 LIVE IN JAKARTA” dengan font WARPAINT dan foto keempat personil. Ya langsung saya klik lah ya! Peristiwa itu pun membawa saya pada akun Instagram Wire It Up, promotor konser tersebut.

Love is to Die

Pada pos tersebut, Wire It Up belum mengumumkan harga dan informasi lebih lanjut, sehingga saya pun menyalakan fitur Turn On Notification. Tentunya, saya tidak ingin ketinggalan update demi bisa melihat dan menyaksikan penampilan langsung mbak-mbak kesayangan sekalian joget-joget ngablu. Pos demi pos saya lewati hingga akhirnya pemesanan tiket Early Bird dibuka dengan harga Rp350.000,- Hanya ada satu kelas saja, festival. Saya pun langsung menghubungi Shirley untuk janjian pesan tiket. Setelah ia mengiyakan, sesegera mungkin saya melakukan pemesanan. Namun, hanya dalam beberapa menit setelahnya, akun Wire It Up mengumumkan bahwa jatah tiket Early Bird telah habis alias sold out, sedangkan saya belum mendapat konfirmasi. Wah, lumayan galau sambil merelakan kalau-kalau memang harus mengeluarkan doku lebih untuk membeli tiket Pre-Sale. Tentu saja saya tidak mungkin tidak menonton konser ini seperti saya tidak mungkin melewatkan kesempatan waktu Feist manggung di Jakarta tahun 2012.

Ketika sudah pasrah, masuklah surel konfirmasi bahwa saya masih berhasil mendapat tiket dengan harga Early Bird. Senangnya bukan main! Sampai-sampai teriak “Yes!” sendiri dengan gerakan tangan yes pada umumnya di depan laptop saat masih berada di kantor. Saya tak mau ambil risiko menanti kuis-kuis bagi-bagi tiket karena biasanya nggak jodoh, serta nggak bermodal niat besar dan pengetahuan yang mumpuni untuk memenangkan kuis-kuis demikian, hehe. Selanjutnya, tiket Pre-Sale dijual seharga Rp550.000,- (dengan beberapa potongan jika membeli di gerai atau rekanan penjualan tiket tertentu) dan tiket On the Spot seharga Rp650.000,-

Kabar menyenangkan lainnya pun datang ketika Retti, salah satu perempuan kesayangan saya dan Shirley, mengabari bahwa ia juga sudah membeli tiket konser Warpaint tersebut sehingga kami akan menonton bersama! Apa yang lebih baik dari menonton band kesayangan yang lagi mampir ke Jakarta bersama para kesayangan? Ya, saya jarang menonton konser musik sehingga kadang suka sedikit berlebihan jika menyangkut hal-hal begini.

Pada suatu hari, Wire It Up mengumumkan salah satu kuis yang pemenangnya dapat mengikuti sesi Meet & Greet dengan para mbak gemes. Kuisnya adalah membuat foto atau video grup (terdiri dari 3-4 orang) bertemakan ide Outfit of the Day (OOTD) yang akan digunakan ketika menonton konser Warpaint nanti. Sontak saya pun mengajak Shirley dan Retti untuk ikutan. Nothing to lose tapi tetap ngarep, kami pun janjian untuk melakukan sesi berfoto ria, dibantu dengan pasangan masing-masing (kecuali pasangan saya yang masih terjebak di masa depan). Waktu itu sepakat, idenya bukan untuk menyerupai tampilan para personil Warpaint, tetapi bagaimana kami memandang ciri khas tampilan Warpaint yang effortlessly cool (mungkin jadi cool karena mereka Warpaint) bisa tetap kami sesuaikan dengan diri kami. Sok serius, ya? Hahahaha. Serius-serius bercanda, sesi foto-foto berlangsung pada hari Minggu di area rooftop sebuah apartemen dengan sok heboh akibat kebingungan. Sampai menyetel lagunya Warpaint segala, ceritanya biar dapet suasana. Setelah mati gaya dan menyudahi sesi, kami pun turun lewat tangga. Tetiba salah satu dari kami mengidekan untuk mengambil beberapa foto lagi di tangga tersebut.

Ketika memasuki acara pilih-pilih foto yang kiranya paling mendingan untuk diunggah, ternyata pilihan jatuh pada foto terakhir di area tangga. Agar merasa foto-foto di rooftop nggak terlalu sia-sia, kami tetap mencoba memilih beberapa foto yang lain juga. Namun, nasib berkehendak lain. Foto yang paling mendingan tetap yang di tangga. Sampai ketika besoknya saya bercerita kepada salah satu rekan kerja, ia pun berkomentar, “Harus di apartemen banget? Kalau foto seperti itu, rasanya di tangga manapun juga bisa, deh.” Hehe, ngakak miris dalam hati. Ya setidaknya kami jadi lebih menghargai profesi model dan proses sesi foto yang biasa mereka jalani, hihihi.

Sampai di batas akhir pengumpulan karya, kami (atau tepatnya saya) terus memantau peserta-peserta lain yang juga mengikuti kuis tersebut untuk mengukur kemungkinan kami menang. Tentunya langsung pesimis ketika melihat foto peserta lain yang terdiri dari empat laki-laki berpenampilan dan berpose seperti para personil Warpaint pada materi publikasi konser. Well, hasilnya pun demikian. Mereka yang terpilih menjadi pemenangnya. Sebelum pengumuman, foto tersebut bahkan sampai diunggah di akun Instagram resmi Warpaint dengan caption You did us better than us.” Hahaha, gokil sih memang. Sempat sirik dan iri karena merasa konsep foto tersebut tidak sesuai dengan konsep yang disebutkan dalam kriteria kuis (dan ada kriteria lain yang tidak dipenuhi salah satu anggota tim) sampai saya mengirimkan pesan pribadi ke akun Instagram promotor, tapi pada akhirnya ikhlas sudah because they deserved it anyway. Hehehe.

No Way Out

Menjelang hari H, tentunya makin tidak sabar. Hitung mundur hari pun dilakukan. Sehari sebelumnya, saat kebetulan sedang berada di area Gelora Bung Karno, saya pun melewati lokasi konser. Di sana sudah terpasang umbul-umbul dan diatur sedemikian rupa sehingga menjadi arena konser. Hanya berbekal dua pengalaman menonton konser tunggal selama beberapa tahun terakhir, yakni Feist dan Katy Perry, arena tersebut tampak relatif kecil. Melihat aktivitas di area tersebut, membuat saya makin tak sabar menanti esok.

Tepat di hari H, saya terbangun sekitar pukul 4 pagi. Mengikuti gaya hidup masa kini, maka bangun-tidur-ku-terus-buka-Instagram. Sialnya (bagi saya), pos yang muncul sebagai feed teratas adalah foto seorang laki-laki bersama para personil Warpaint di bandara Soekarno-Hatta! Sumpah, iri banget. Rasanya pengen langsung bangkit dari kasur dan ke bandara saat itu juga. Setelah itu, obsesi saya ingin jumpa mereka dari dekat makin menjadi-jadi. Tentu saja tidak kesampaian. Akhirnya hanya bisa mupeng melihat unggahan orang-orang yang bisa berada di dekat mereka, foto bersama, dan bahkan memberikan hadiah langsung. Melihat foto wartawan yang datang meliput konferensi pers pada siang harinya, bawaannya langsung ingin menjadi peliput (lagi). Yang bikin makin iri dan sirik adalah cerita orang-orang yang berhasil foto bareng dan dari situ terlihat betapa selow, ramah, dan asiknya para mbak gemas ini. Setidaknya itu kesan yang saya tangkap, hehe. Salut juga sama orang-orang yang segitu berjuangnya untuk mencari kesempatan bertemu mereka.

Sambil terus memantau akun Instagram promotor dan hashtag-hashtag seputar Warpaint di Jakarta, saya memperoleh informasi bahwa penukaran tiket dapat dilakukan mulai pukul 17.00. Gerbang masuk ke area konser akan dibuka pukul 18.00 dan akan dimulai dengan penampilan tiga grup musik lokal (terlepas dari kegelisahan pribadi tentang pemakaian kata ‘lokal’) terlebih dahulu: Diocreatura, Troü, dan kimokal. Dari ketiga grup tersebut, saya sendiri baru mengenal kimokal. Iri sekali dengan mereka karena bisa berbagi, baik atas maupun belakang panggung, dengan Warpaint! (Ya, saya iri sama semua orang, tetapi nggak punya cukup niat dan keberanian untuk mengusahakan sesuatu, huft..)

Saya janjian bertemu Shirley pukul 17.00 untuk menukarkan tiket, sedangkan Retti akan menyusul. Ketika kami menukarkan tiket, bahkan terlambat setengah jam dari jadwal janjian, suasana masih terbilang sepi. Beberapa orang memang sudah berdatangan dan tampak menunggu. Antrian penukaran tiket pun tidak panjang, hanya satu dua orang di depan saya dan prosesnya tidak memakan waktu lama. Berbeda ketika hendak menonton konser Feist, yang mana antriannya cukup panjang menjelang masuk arena pertunjukan. Apalagi menonton konser Katy Perry, sampai harus datang dari jam satu siang untuk mendapatkan titik menonton yang paling baik, sebisa mungkin. Melihat situasi yang masih santai dan sepi usai menukarkan tiket, saya dan Shirley pun berani memutuskan untuk makan malam dulu di f(X) Sudirman, yang jaraknya sekitar 700 meter dari lokasi konser.

Retti menyusul kami di f(X) Sudirman. Kami pun baru beranjak kembali menuju tempat pertunjukan sekitar pukul 19.30 atau 20.00. Dengan waktu tempuh berjalan kaki selama 10 menit, kami tetap tidak menemukan kerumunan yang bertumpuk atau antrian masuk gerbang yang berarti ketika sampai di lokasi, padahal sudah ada penampilan grup musik lokal pembuka. Menjelang gerbang masuk, para calo tiket mulai bergantian menghampiri. Mereka menjual tiket rata-rata seharga Rp200.000,- dengan jargon “masuk dulu, baru bayar”. Kurang paham dengan maksud dan teknis penerapannya, tetapi mungkin hal tersebut guna menjamin bahwa tiket yang mereka jual tidak palsu.

Setelah pemeriksaan keamanan di gerbang masuk, tiket kami ditukarkan dengan gelang kertas. Melewati gerbang, kami pun disambut semacam standing banner pose setengah badan para personil Warpaint yang skala tingginya kira-kira setinggi saya. Kalau tidak salah ingat. Tentunya menjadi salah satu spot caem untuk foto-foto. Di sisi kanan ada para penjual makanan dan minuman, sedangkan di sebelah kiri tersedia beberapa portable toilet. Kemudian ada lapak kaos, topi, dan beberapa cinderamata. Namun, lapak tersebut tidak menjual cinderamata resmi Warpaint. Sepertinya mereka hanya menyediakan produk yang dibuat oleh promotor dan rekanannya.

Setelah itu, di tengah-tengah ada panggung FOH yang kemudian membentuk jalan di kanan dan kirinya. Penonton bisa memilih, mau menyaksikan pertunjukan dari sayap kiri atau sayap kanan karena di tengah-tengah area penonton justru dibuatkan sekat pemisah. Kami memilih jalur yang sebelah kiri. Saya pribadi memilih yang kiri karena saya suka yang kiri-kiri. Nggak deng, eh ya mungkin benar, tapi untuk hal ini saya memilih sayap kiri karena biasanya personil favorit saya, Theresa Wayman, berdiri di sisi kiri hadapan penonton (sisi kanan panggung).

Benar seperti dugaan saya pada hari sebelumnya, arena pertunjukan memang terbilang kecil. Panggungnya pun sederhana saja. Di tengah panggung dibuatkan tambahan tempat berjalan ke arah penonton dengan ukuran luas yang lebih kecil sehingga seperti membentuk T bantet. Ketika kami masuk, beberapa penonton sudah stand by dan merapat untuk mengamankan posisi paling depan. Kami sepakat untuk menunggu di pinggiran dulu, duduk santai, dan baru akan bergerak merapat sedikit ke tengah menjelang pertunjukan mulai. Hasrat untuk menyaksikan pertunjukan dari jarak yang paling dekat juga sudah memudar, yang penting bisa seru-seruan bersama. Bahkan yang penting bisa seru-seruan sendiri. Di tengah-tengah penantian, abang ganteng yang paling ganteng sejak SMA bernama Rezky, menghubungi saya. Nyari temen, katanya. Ujung-ujungnya pas dia sampai, malah duluan dia jumpa dengan temannya. Yang bukan saya. Retti juga bertemu dengan temannya yang bernama Dea, sehingga pada akhirnya kami pun menonton bersama.

So Good

Menjelang pukul 21.00, ketika penampil pembuka urutan ketiga hampir mengakhiri pertunjukannya, penonton mulai makin banyak berdatangan. Kami yang tadinya berada di pinggir pun ikut merapat ke tengah. Belakangan disadari bahwa sudut pandang dari tempat awal kami menunggu rasanya lebih nyaman karena tidak terhalang kepala orang lain. Namun, untuk ukuran penonton yang baru merapat menjelang Warpaint berlaga, posisi kami masih bisa dibilang cukup dekat. Entah memang arenanya yang tidak terlalu luas, atau penontonnya yang tidak terlalu banyak. Sampai tulisan ini terbit (tsailah!), saya belum menemukan foto yang menangkap crowd penonton, jadi tidak bisa membayangkan keramaian malam itu.

Dan akhirnya…. setelah penantian yang santai dan tidak terlampau panjang apalagi melelahkan, para kesayangan pun memasuki panggung! Nama yang paling sering diteriakkan adalah Jenny Lee. Theresa dan Stella masih memakai outfit yang sama dengan yang saya lihat di foto saat mereka konferensi pers. Stella dengan atasan tangan buntung (saya lupa apakah ia ganti bawahan memakai celana pendek atau masih memakai celana panjang), Theresa dengan kaos dan rok kotak-kotak dengan panjang sampai atas lutut plus stocking(?) sebetis, Emily dengan atasan dan luaran merah yang terlihat paling mencolok apalagi kalau kena sorot lampu panggung, sedangkan Jenny Lee… nggak heran jika tampilannya menambah banyak perhatian orang karena dia memakai kaos barong Bali yang longgar, adem, dan nyaman itu. Sepertinya ia memakai pemberian-pemberian dari para penggemarnya yang bisa langsung ia pakai. Di tengah-tengah pertunjukan, Emily melepas luarannya sehingga hanya mengenakan atasan tangan buntung yang juga berwarna merah (sehingga tetap paling mencolok). Selain itu, hanya ia dan Jenny Lee yang mengikat rambut di tengah-tengah pertunjukan (mungkin karena kegerahan), sedangkan Stella dan Theresa membiarkan rambutnya terurai menciptakan kibasan-kibasan badai, hahaha. Setidaknya itu yang terekam di ingatan saya.

Saya tengok jam, mereka memainkan “Intro” sekitar pukul 21.30, dilanjutkan “Keep it Healthy”. Pertunjukan malam itu tidak banyak basa-basi. Dari satu lagu, langsung mereka hajar masuk ke lagu selanjutnya. Sesekali ditambah ucapan “Thank you” dan “Terima kasih”. Kalaupun ada gimmick pengucapan kata dalam Bahasa Indonesia lainnya, hanya sekali disampaikan oleh Emily yakni “Bagus, bagus, bagus!”. Entah apa konteks dan maksudnya, hahaha. Atau beberapa kali sekadar menyebutkan judul lagu yang hendak mereka mainkan selanjutnya, yang tentu selalu disambut sorakan penonton. Theresa dan Emily kadang bergantian beranjak dari spot mereka ke tengah ujung panggung T ketika harus bernyanyi, meski berarti keluar dari zona sorotan lampu. Sesekali ada teriakan di ujung lagu dengan efek echo, atau sentuhan nada yang sedikit berbeda. Namun selebihnya, mereka tidak memberi jeda panjang saat peralihan lagu. Tidak pula ada interaksi yang berarti, yang biasanya jadi modal untuk menyisakan kesan lebih mendalam akan sebuah pertunjukan musik. Seakan mereka membiarkan agar lagu-lagu yang mereka bawakan, dan bagaimana mereka membawakannya, cukup menjadi satu-satunya cara berkomunikasi dan terhubung dengan para penonton. Di atas panggung sederhana tanpa visual background khusus atau permainan lighting yang memesona.

Saya sendiri hanya bisa pasrah membiarkan energi saya disedot oleh pertunjukan hampir marathon itu. Adapun yang bisa dilakukan adalah mengimbangi sekaligus mengagumi energi mereka di atas panggung untuk menunjukkan skill permainan musik mereka yang luar biasa, seperti yang bisa dan biasa didengar jika memutar album mereka. Mereka pun memainkan lagu-lagu dengan gaya dan gerakan masing-masing yang sudah bisa dikenali lewat video-video pertunjukan live mereka sebelum-sebelumnya di YouTube. Meski saya paling fokus sama gerak-geriknya Theresa (apalagi kibasan rambutnya, hahaha), kesayangan yang paling kesayangan. Bedanya, kali ini saya dibuat makin percaya betapa skillful-nya mereka karena menyaksikan penampilan mereka secara langsung. Walaupun dari jarak saya berdiri tidak dapat melihat wajah mereka secara jelas (atau mungkin minus mata saya tidak terakomodasi kacamata yang saat ini dipakai), tetapi layar di sisi panggung cukup membantu ketika sekali-sekali mau colongan melihat ekspresi mereka. Apalagi ketika saya menangkap di layar, momen saat Stella memegang satu alat musik lagi dengan tangan kanannya (selain stik drum yang sudah ia pegang), tetapi tangan kirinya masih memukul drum untuk menjaga beat tetap sesuai. GOKS! Badan pun nggak bisa diam karena selalu terpancing joget-joget bahkan lompat-lompat di beberapa lagu, sambil sesekali memejamkan mata untuk menghanyutkan diri sambil mengutuk betapa kerennya mereka.

Dalam durasi sekitar satu jam, mereka sudah membawakan 12 lagu (berdasarkan gambar setlist yang beredar sesuai konser karena saya pun sudah lupa urutannya saat menulis ini). Salah satu yang asyik dari konser Warpaint ini adalah setlist mereka yang menurut saya disusun dengan sangat apik. Meskipun bertajuk tur Heads Up yang adalah album terbaru mereka, tetapi lagu-lagu dari album tersebut tidak terkesan dominan dalam pertunjukan malam itu. Lagu-lagu dari album-album mereka sebelumnya (atau sekadar single yang pernah mereka rilis) muncul di urutan yang tidak terduga, semerta-merta demi menyajikan alur pertunjukan dengan kenikmatan maksimal. Seakan mereka memposisikan bahwa konser ini bukan sekadar mempromosikan album baru, tetapi merayakan pertemuan Warpaint dengan penggemar mereka di wilayah sini. Saking apiknya setlist tersebut, saya merasa tiap lagu yang dibawakan (dengan kekhasannya masing-masing) seakan diciptakan di satu masa yang sama dan dihadirkan sebagai lagunya Warpaint tanpa memandang lagu itu diciptakan pada zaman yang mana.

Tentunya satu jam durasi yang terlalu singkat untuk pertemuan yang sangat jarang dan sudah ditunggu-tunggu, meski di sisi lain masih kagum dengan stamina mereka memainkan keduabelas lagu dalam daftar berikut:

INTRO/KEEP IT HEALTHY
HEADS UP
KRIMSON
UNDERTOW
NO WAY OUT
THE STALL
BEETLES
WHITEOUT
ELEPHANTS
LOVE IS TO DIE
NEW SONG
DISCO//VERY

Setelah lagu terakhir usai, mereka pun mengucapkan terima kasih (lagi) sambil perlahan bubar satu per satu turun panggung. Tentunya penonton berteriak “We want more!” seperti ritual konser pada umumnya. Belakang kanan saya masih teriak-teriak namanya Jenny Lee. Belum ada tanda-tanda kru membereskan alat, para penonton juga seakan tahu bahwa they will be back to the stage anyway, jadi ya belum pada bubar. Sekitar 10 menit setelahnya, mereka kembali muncul memainkan dua lagu sebagai encore: “So Good” dan “Bees”. Setelah bocoran setlist keluar, saya baru mengetahui bahwa mereka sempat memasukkan lagu “Billie Holiday” untuk sesi encore, tetapi nyatanya tidak mereka mainkan. Entah apa alasannya, tetapi buat saya cukup masuk akal karena sebagian besar lagu yang mereka bawakan memang yang bertempo cepat. Menurut amatan saya yang sangat sok tahu ini, jika mereka memainkan “Billie Holiday” atau lagu bertempo lambat lainnya (seperti “Baby” yang menjadi salah satu lagu kesukaan saya), mungkin atmosfir konser bisa sedikit terganggu keseimbangannya.

Beetles

Dibandingkan dua konser yang pernah saya datangi dan sudah saya sebutkan sebelumnya, bisa dikatakan ini situasi konser yang paling enak. Di satu sisi, sepertinya konser ini relatif sepi. Di sisi lain, situasi tersebut menyenangkan bagi saya karena suasananya jadi santai, tidak perlu rebutan berdesak-desakan. Tidak perlu adegan ngantri dari siang apalagi lari-lari menyelamatkan posisi yang paling baik. Di sisi lainnya lagi, agak sayang memang dengan panggung yang relatif kecil tersebut dan penonton yang tidak terlalu banyak, Warpaint tidak menjalin interaksi yang lebih intim atau spesial. Tidak harus dengan ngomong panjang lebar atau bicara dalam Bahasa Indonesia, tetapi saya sedikit mengharapkan mereka memberi sentuhan berbeda pada beberapa lagu dari versi yang sudah biasa didengarkan dalam album (seperti perlakuan mereka pada lagu Love is to Die) atau sesi impromptu seperti saat mereka tampil di video ini.

Seusai pertunjukan, Rezky (yang tentunya lebih sering datang menonton konser dan festival musik) menyampaikan bahwa baginya, suasana konser malam itu tidak terlalu festive dan sound-nya pun kurang maksimal. Ia menambahkan sempat melihat sebagian personil meminta penyesuaian terhadap sound alat musik mereka beberapa kali. Namun, saya pribadi tidak terlalu memperhatikan hal tersebut. Saya cukup terbius permainan musik mereka, terutama fokus pada goyangan dan kibasan Theresa Wayman, my favorite lady. Just enjoy it while it last, see them live with my own minus eyes, merekamnya dalam kapasitas memori yang ada, dan sisanya cuma melampiaskan kenikmatan-kenikmatan pribadi dengan joget-joget pada setiap detik yang mungkin.

Salut sama Wire It Up, promotor yang menurut saya cukup ‘nekat’ menjadikan Warpaint sebagai proyek pertama mereka. Entah bagaimana sudah berhasil membuat mereka mau mampir ke Jakarta (pertama kali dan pada akhirnya!) sehingga menjadikan ini sebagai satu-satunya konser Heads Up di Asia Tenggara. Meski sepertinya mereka di Jakarta literally mampir sebelum beranjak tur di Australia (yang mana tanggalnya sudah diumumkan duluan). Takjub dengan Wire It Up yang melihat peluang untuk nyolek mereka transit dan main di Jakarta, hehe.

Tidak ada basian yang berarti sesuai konser tersebut. Namun konser tersebut berhasil membuat saya ingin menyimak Warpaint dan musiknya lebih dalam lagi, mulai dari awal lagi. Mendengarkan lagi album-album mereka yang terdahulu dan menerka-nerka apa yang mungkin sama atau berbeda pada album-album selanjutnya. Mengecek lagi lirik-lirik lagu mereka, mengidentifikasi instrumen yang dimainkan tiap personil pada tiap lagu, dan semakin menyadari serta mengagumi bagaimana tiap-tiap instrumen itu (termasuk vokal) hadir dan membentuk setiap lagu mereka. Tentunya juga mendengarkan playlist tiap personil di Spotify.

Semoga suatu saat bisa menonton penampilan mereka secara langsung (lagi) dan bisa berada di jarak yang lebih dekat. Salaman, foto bareng, dan ngobrol sok akrab sambil gemeteran, terutama dengan Theresa. Terima kasih Warpaint, sudah menjadi bahan buat saya menulis dan mengisi blog ini lagi setelah sekian lama. Juga para kesayangan yang sudah menghabiskan malam Warpaint bersama. Cium satu-satu :* :* :* :*

Tinggalkan komentar