Ada Apa dengan Yuni?

Sebagai bocah kelas 6 SD yang kebagian hebohnya film Ada Apa dengan Cinta? (AADC?) (Rudi Soedjarwo, 2002), film tersebut cukup mempengaruhi tumbuh kembang saya. Masih teringat bagaimana selepas menonton film itu, saya cukup terobsesi bikin geng cewek yang punya buku curhat dan jadwal buat latihan nge-dance. Berlanjut di SMP jadi naksir dan tuker-tukeran puisi sama seorang cowok cadel, juga berasa akrab nemu buku Deru Campur Debu-nya Chairil Anwar di perpustakaan sekolah (padahal nggak ngerti juga maksud puisi-puisinya apa), dan tentu saja ikut menghafal dialog-dialog filmnya. Intinya, film itu cukup besar pengaruhnya bagi saya, bahkan sampai saya menulis ini.

Dok. Fourcolours Films

Sembilan belas tahun kemudian, ketika Yuni (Kamila Andini, 2021) rilis di bioskop-bioskop Indonesia pada hujan di bulan Desember (iya, aku #ter-ERK), kepala saya tidak bisa berhenti mengaitkan kedua film tersebut. Tanpa menginvalidasi apa yang dianggap persoalan bagi Cinta dan orang-orang di sekitarnya di AADC?, saya merefleksikan adanya kehidupan remaja yang begitu kontras–dan semakin kontras–ketika menautkan dunia Cinta dengan dunia Yuni.

Baik AADC? maupun Yuni, keduanya berangkat dari upaya memotret jungkir baliknya kehidupan remaja, utamanya dengan tokoh utama seorang remaja perempuan, yang kalau Britney Spears bilang, “I’m not a girl, not yet a woman”. Sebuah kategori usia yang identik dengan masa transisi, dengan lika-liku problematikanya sendiri, menuju apa yang kerap disebut dengan ‘menjadi dewasa’. Baik Cinta maupun Yuni, punya geng-nya masing-masing, dengan karakteristik dan kisah anggotanya yang beragam. Keduanya beririsan dengan puisi, meski memiliki posisi yang berbeda terhadapnya. Cinta langganan juara lomba puisi–until she’s not, sedangkan Yuni dengan lempeng dan yakin menjawab “Nggak,” ketika gurunya bertanya apakah ia mengerti elaborasi dari tugas puisi yang ia kerjakan. Yang satu digerakkan dengan Chairil Anwar, yang satu lagi oleh Sapardi Djoko Damono.

Terlepas dari itu, kehidupan keduanya amatlah berbeda.

Cinta berada di latar masyarakat urban Jakarta–yang kini mungkin bisa lebih spesifik dikategorikan sebagai warga Jakarta Selatan–sedangkan Yuni berada di Serang, kawasan industri yang memposisikan pegawai pabrik sebagai simbol kemapanan. Masing-masing ditandai melalui bahasa percakapan, gaya berpakaian, sampai tempat nongkrong. Cinta tinggal dengan keluarga utuh, sedangkan interaksi Yuni dengan orang tuanya didominasi percakapan via telepon (karena orang tuanya harus menjadi TKJ: Tenaga Kerja Jakarta) dan sehari-hari ia tinggal bersama neneknya.

Persoalan Cinta lebih banyak seputar mempertahankan popularitas dan predikatnya sebagai cewek gaul di sekolah, sehingga naksir cowok yang beda derajat gaulnya menjadi semacam pilihan krusial. Kegalauan Cinta untuk memilih Rangga atau persahabatan mading siap terbitnya, menjadi penggerak film yang bisa diamini sebagai kewajaran persoalan remaja pada umumnya. Ekspektasi kewajaran itu yang saya asumsikan pula harusnya terjadi bagi Yuni, sebagai sesama cewek seumuran Cinta.

Namun, Yuni bukanlah Cinta. Dan inilah pentingnya film Yuni, bagi saya. Meski sama-sama galau, kegalauan Yuni berkutat pada rentetan lamaran pernikahan yang datang kepadanya (dari laki-laki dengan profil dan usia beragam pula!) dengan segala referensi dari orang-orang di sekitarnya tentang pernikahan (juga kehamilan) yang dijalani orang-orang seusianya–yang tergambarkan sudah dinormalisasi di lingkungan masyarakat Yuni berada–dengan kemungkinan melanjutkan ‘tahap hidup’ selanjutnya tanpa pernikahan terlebih dahulu, seperti melanjutkan kuliah atau bekerja.

Jika adegan ikonik Cinta ngumpul dengan geng-nya adalah adegan nge-dance bareng (meski untuk comforting persoalan Alya yang tak ringan pula), adegan ikonik Yuni ngumpul bareng geng-nya yang komplit, bagi saya, adalah ketika mereka menjenguk salah satu temannya yang baru saja melahirkan, dengan absennya sosok si suami. Jika Cinta bisa mengejar Rangga sampai ke bandara, apakah Yuni bisa setidaknya mengejar beasiswa pendidikan perguruan tinggi yang berpotensi diraihnya?

Pada akhirnya, catatan penting bagi saya setelah menonton film Yuni adalah betapa imajinasi untuk memiliki pilihan atau membayangkan kemungkinan-kemungkinan menjalani masa depan adalah sebuah privilege, dan adalah sebuah persoalan ketika hal tersebut bukanlah sesuatu yang sewajarnya diperoleh oleh para remaja. Termasuk untuk merasa belum-tahu-mau-menjadi-apa dan kesempatan untuk figuring out things, tanpa harus selalu dibatasi pernikahan sebagai satu-satunya jawaban.

Tinggalkan komentar