What does inferiority do?

Sebagai individu yang merasa dirinya inferior1, saya akan memulai tulisan ini dengan sebuah disclaimer bahwa tulisan ini saya buat sebagai refleksi atas pengalaman, pengamatan, dan pandangan pribadi. Salah satu dari segudang hal impulsif yang kerap saya lakukan, tapi semoga dapat menjadi langkah awal untuk pengamatan, refleksi, dan penelusuran lanjutan.

Pada Sabtu, 28 Januari 2023, saya mendapat banyak sekali stimulus sehingga memutuskan untuk menuliskannya dalam unggahan ini sebelum meluap begitu saja. Hal ini dipantik dengan keikutsertaan saya sebagai salah satu anggota tim kerja belakang layar untuk kelas Sekolah Pemikiran Perempuan (SPP) 2023, yang telah dimulai per 21 Januari lalu dan akan berlangsung sampai 11 Maret mendatang. Para peserta di kelas ini telah melalui tahapan seleksi, tetapi saya beruntung sekali bisa turut menyimak apa yang berlangsung di dalam kelas karena terlibat sebagai panitia kerja.

SPP telah menyelenggarakan kelas sejak 2019, yang ketika itu merupakan bagian dari program Cipta Media Ekspresi (CME). Saya sendiri baru bergabung dalam tim kerja pada 2020 lewat kegiatan Etalase Pemikiran Perempuan (Etalase) 2020, membantu mengelola media sosial sebagai salah satu platform komunikasi publik. Saya masih ingat perasaan khawatir, cemas, dan tidak percaya diri2 yang menyertai ketika diajak terlibat karena saya merasa banyak tidak tahu tentang isu perempuan, feminisme, dan hal-hal terkait lainnya. Sangat mungkin bahwa keputusan untuk terlibat kemudian lebih didasarkan pada kebutuhan akan pekerjaannya saja–satu alasan yang cukup kuat meruntuhkan rasa khawatir, cemas, dan tidak percaya diri tadi. Namun, jika menengok kembali ke awal mula keterlibatan saya sampai hari ini, bisa dikatakan bahwa hal tersebut menjadi salah satu berkah terselubung di kala pandemi yang terjadi pada tahun tersebut.

Saya belajar banyak–meski ragu sendiri apakah saya jadi bertambah pintar (maksudnya lebih karena faktor diri saya yang memang susah pintar)3–melalui pertemuan dan perkenalan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan para puan-puan luar biasa. Yang paling penting bagi saya yang inferior ini adalah tersedianya ruang aman dan nyaman untuk saya belajar sekaligus bekerja di sini. Kekhawatiran, kecemasan, dan ketidakpercayadirian saya di awal, tidak terlalu mengokupasi saya karena adanya dukungan, encouragement instead of discouragement, dan prinsip ‘mendengarkan‘ satu sama lain. Adanya ruang yang kondusif membuat saya cukup merasa percaya diri sehingga tidak hanya membuat saya senang dalam menjalankan pekerjaannya tetapi juga bisa menyerap banyak pengetahuan dan pengalaman sebagai pembelajaran.

Keterlibatan saya berlanjut hingga SPP menyelenggarakan kelas SPP 2022. Bekerja di belakang layar, memungkinkan saya menyimak percakapan dalam kelas, serta sesekali berinteraksi dengan para peserta. Maafkan jika pilihan kata saya sangat minim dan miskin4, tetapi di setiap pertemuan kelas berakhir saya kerap berujar, “keren-keren banget sih ini orang-orang.” Namun, meski tidak sering terutarakan atau terujar dalam pertemuan di kelas, ada satu kesan yang sesekali nampak dari respons-respons di kelas, yang membuat saya cukup heran dan penasaran: bagaimana bisa, para puan yang amatlah keren bagi saya ini, merasa.. inferior? Well, yes, they can. The good news is, SPP give them (and also me) a safe space for being inferior and even vulnerable. Dalam pengertian, bukan untuk menjadi ruang yang sekadar hosting a pity party, melainkan untuk saling mendukung dan menguatkan.

Kembali ke pertemuan SPP 2023 kedua yang berlangsung hari ini, ada satu fragmen diskusi yang membahas pengalaman keminderan ini, sebagai salah satu respons atas topik utama mengenai feminisme kulit berwarna dan interseksional yang dibawakan oleh pembicara tamu L. Ayu Saraswati. Beberapa pengalaman minder seperti belajar di negara asing yang mengharuskan menggunakan bahasa kedua sehingga dianggap tidak lebih pintar, atau karena kita berasal dari negara Selatan; atau minder karena mengalami diskriminasi ras, agama, gender; atau minder karena kita dianggap tidak memenuhi standar-standar tertentu yang ditetapkan atau diakui sehingga dianggap tidak lebih baik; dan seterusnya.

Dua respons dari Kak Ayu yang kemudian memantik saya menulis unggahan ini,

  1. Kita bisa menggunakan tawaran pendekatan dari Sara Ahmed untuk menelusuri dan memahami keminderan ini dengan berangkat dari dua pertanyaan: a) What does it do? Dalam kasus ini, kita bisa mengganti kata it dengan inferiority, sehingga menjadi What does inferiority do? Apa fungsi dan konsekuensi dari kita untuk berkutat dengan perasaa inferior atau minder ini? Yang saya bayangkan dari pertanyaan awal ini–setidaknya saat ini–adalah turunan pertanyaan, apakah akan lebih banyak manfaatnya atau mudaratnya untuk merasa inferior? Atau bisa membawa kita pada pencarian lebih lanjut terhadap asal muasal inferior ini bercokol dalam diri kita dan pelan-pelan mengatasi dan menghadapinya. b) Who benefits from it? Siapa yang akan diuntungkan dari kita merasa inferior? Orang-orang yang tidak ingin kita maju atau berkembang, kah? Orang-orang berkuasa yang ingin kita menurut saja dan membuat kita bergantung dengan kuasa mereka, kah? Sangat mungkin kita dibuat atau bahkan dibentuk untuk menjadi inferior demi keuntungan segelintir pihak.
  1. Selaras dengan nilai SPP yang saya pahami dan pelajari selama saya bergabung, saya menangkap penekanan Kak Ayu akan keterkaitan diri kita sebagai individu dengan komunitas kita berada. Bagaimana ‘keberhasilan’ satu orang tidak hanya berfokus pada satu individu yang bersangkutan saja, tetapi juga dapat turut ‘mengangkat’ anggota-anggota lain dalam komunitas tersebut. Dan berkaitan dengan respons pertama di atas, maka muncul pertanyaan, apakah keminderan kita akan bermanfaat atau justru berpotensi merugikan, tidak hanya bagi diri kita sendiri tetapi juga komunitas kita?

Dua respons tersebut cukup menyentil saya sekaligus boosting self-worth saya (hehe5). Namun, saya pribadi juga tidak ingin menjadikan hal tersebut membawa saya kepada perlakuan ekstrim bahwa saya tidak boleh inferior. Mungkin saat ini, langkah yang paling masuk akal bagi saya adalah menjadi lebih aware ketika sedang merasa inferior dengan terus menerus bertanya menggunakan dua pertanyaan dasar di atas. Langkah lainnya, saya pribadi sangat ingin menjadi pendengar yang baik bagi teman-teman lain, khususnya para puan, yang kerap merasa inferior atas apapun itu. Berdasarkan pengalaman pribadi, terkadang bercerita dengan orang lain membantu mengingatkan saya akan kapasitas saya untuk bisa berkontribusi, yang kadang teredam ketika saya kumat terlalu minder. Ditambah, perspektif orang lain bisa jadi relatif lebih objektif dibanding diri kita sendiri yang mungkin terkadang ‘terlalu keras’ melihat dan menilai diri kita sendiri.

Di sisi lain, saya juga jadi penasaran, apakah pengalaman-pengalaman minder para puan ini merupakan pengalaman kolektif yang terbentuk (atau dibentuk)? Semoga ada kesempatan, waktu, dan energi untuk menelusuri ini lebih lanjut.

Sementara itu, mari berpelukan dan saling menguatkan.


Gotcha! Format penomoran catatan kaki pada tulisan ini sebenarnya saya gunakan untuk menghitung berapa kali saya menunjukkan bahwa saya inferior dalam tulisan ini, hehe.

Tinggalkan komentar