Siapa yang tidak mengenal Indonesia karena keberagamannya? Agama, suku, etnis, adat istiadat, bahasa, dan juga beberapa produk budaya lain yang ada di Indonesia tidak hanya satu, tidak monoton, tetapi begitu banyak sampai-sampai tidak mudah bagi kita untuk menghafalnya satu per satu. Namun, keberagaman yang bisa ‘dibanggakan’ itu dipertanyakan dengan beberapa kekerasan atas nama agama yang terjadi belakangan ini atau terorisme atas nama jihad. Dua kondisi ini seolah menjadi dua realitas yang paradoks. Di satu sisi, perbedaan itu realitas yang tak dapat dihindari apalagi di’musnah’kan. Sedangkan, kekerasan atas nama agama juga bukan sebuah kisah fiksi. Maka kemudian kehadiran film ‘Tanda Tanya’ (2011) seolah-olah mempertanyakan, realitas mana yang sebaiknya dipilih?
Kedua realitas ini ditampilkan dalam film, seolah berebut menjadi juara agar dipilih. Dibuka dengan shot tempat ibadah dari agama berbeda yang diambil dalam diam dan diiringi nuansa musik berlainan yang mewakilkan ‘karakteristik’ masing-masing agama tadi. Setelah menikmati manisnya perbedaan lalu kita dibawa pada adegan penikaman seorang pendeta yang sedang menyambut umat-umatnya datang ke gereja. Di sini ‘tanda tanya’ pertama muncul.
Ekstrim
Perbedaan-perbedaan di film ini sendiri ditampilkan secara ekstrim. Menuk (Revalina S. Temat), seorang muslim yang bekerja di restoran milik Tan Kat Sun (Hengky Solaiman), seorang keturunan Tionghoa, di mana restoran tersebut menyajikan daging babi sebagai menu masakannya. Toleransi di sini digambarkan dengan keramahan Tan Kat Sun dan istrinya terhadap Menuk (yang ke-Islam-annya ‘diperkuat’ dengan memakai jilbab), mempersilakan Menuk sholat ketika waktunya, serta membedakan perangkat masak-memasak yang digunakan untuk memasak makanan yang memakai daging babi dan mana yang tidak.
Persoalan Rika (Endhita) juga digambarkan tidak kalah ekstrimnya. Ia berpindah agama, dari Islam ke Katholik, setelah berpisah dari suami yang ingin mempoligaminya. Namun, ia tinggal dengan anaknya yang tetap muslim. Perbedaan ekstrim lainnya tergambar pada pilihan Surya (Agus Kuncoro), seorang aktor yang selalu menjadi figuran, ketika mendapatkan tawaran untuk berperan sebagai Yesus, aktor utama, dalam drama paskah sebuah gereja, padahal ia seorang muslim.
Perbedaan yang ekstrim ini seperti sengaja dikondisikan sedemikian rupa untuk mempermudah penonton bersentuhan langsung dengan perbedaan yang menjadi tanda tanya utama dalam film ini. Ibaratnya, konflik dalam film ini tidak muluk-muluk membawa pada konsep perbedaan yang abu-abu dan multi-interpretasi, tetapi perbedaan yang mencolok, yang hitam dan putih. Dengan perbedaan yang tampil ekstrim, maka seharusnya lebih mudah untuk menyeret penonton konflik para tokoh karena gesekan-gesekan perbedaan itu terus terjadi hampir di sepanjang film.
Walaupun begitu, hal ini harus dipertimbangkan secara hati-hati karena justru bisa menjadi jebakan-makan-tuan jika representasi perbedaan secara ekstrim ini diambil hanya dari simbol-simbol konvensional. Bahkan akan jadi cenderung normatif. Apa iya semua muslim tidak memakan babi? Atau dari yang paling sering dibicarakan, apa iya semua muslim memakai jilbab? Jika tidak ada rumus untuk mengembangkan representasi-representasi tadi secara visual, maka selamanya akan terjebak dalam simbol-simbol konvensional tadi.
Namun dalam film ini, hal tersebut tertolong dengan menempatkan simbol-simbol konvensional dalam gambar adegan tertentu yang ‘menampar’. Seperti bagaimana kamera bergerak menyorot istri Tan Kat Sun yang sedang beribadah dengan hio lalu beralih ke Menuk yang berjilbab dan sedang membereskan sajadahnya. Atau shot gambar Rika yang mencoba membujuk anaknya yang mengunci diri di kamar karena marah padanya akibat telat menjemputnya di langgar seusai mengaji. Kamera bergerak dari menangkap ekspresi kesedihan dan kebingungan Rika ke gambar kaligrafi bertuliskan ‘Allah’ di pintu depan kamar Abi, anaknya.
Personal dan Komunal
Yang juga menjadi tanda tanya lainnya dalam film ini adalah bagaimana memposisikan keyakinan itu sendiri. ‘Tanda Tanya’ menjadikan tokoh-tokoh protagonisnya adalah tokoh yang bisa memposisikan agama sebagai pilihan yang personal dan dijalankan secara personal pula. Rika, yang memutuskan pindah agama dan menyatakan bahwa keputusannya itu diambil atas pilihannya sendiri. Walaupun begitu, saat ditanya oleh Romo siapa Tuhan baginya, ia tidak bisa mengelak bahwa Tuhan yang ia kenal adalah yang Ar-Rahman, Ar-Rahim, dan istilah lainnya yang ia kenal.
Atau ketika Menuk mencoba mengingatkan suaminya yang keburu mengeneralisasikan ‘Cina’ ketika Ping Hen (Rio Dewanto) tidak memberikan libur lebaran pada karyawan tokonya. Ia mengingatkan bahwa yang ia dan teman-temannya protes adalah Ping Hen sebagai individu, bukan ia sebagai etnis Cina.
Konflik muncul ketika tokoh-tokoh protagonis ini justru yang paling harus bermasalah karena adanya keyakinan akan kebenaran yang berlaku secara komunal. Seperti beberapa pemuda masjid yang berpapasan dengan Ping Hen dan mengoloknya “Cina!” atau ketika Soleh (Reza Rahadian), suami Menuk, yang menyerbu restoran tempat Menuk bekerja, berdasarkan kebenaran menurut mereka secara kelompok. Atau konstruksi berpikir seorang ibu yang berujar, “Kalau jual buku agama, pasti lebih laku.” yang membuktikan bahwa ada kebenaran komunal yang diproduksi sehingga menghilangkan ruang untuk ‘kebenaran pribadi’ dan pilihan ‘personal’. Atau bagaimana Abi merasa tertekan dengan olok-olok teman-temannya tentang ibunya yang ‘memilih’ agamanya sendiri.
Walau demikian, posisi tokoh agama dalam film ini justru dihadirkan sebagai pihak yang memoderasi perbedaan-perbedaan ini. Seperti Ustad yang menganjurkan Surya untuk memilih sesuai kemantapan hatinya atau Romo yang justru melerai ketika ada keributan dari jemaahnya yang memprotes peran Yesus diperankan Surya yang beragama Islam. Bisa dibilang ini cara aman sekaligus untuk menyampaikan pesan-pesan toleransi. Ditambah lagi banser NU di film ini yang sangat toleran dengan tugas mereka menjaga keamanan gereja pada saat paskah.
Namun, sayang sekali menjelang ending, film ini tampak kehilangan pegangannya. Ia seperti tidak bisa mempertahankan secara utuh keharmonisan dari perbedaan yang berusaha ia perjuangkan meski menemukan banyak kesulitan. Pasca kematian Soleh yang disebut-sebut ‘mati syahid’, maka kemudian Soleh dijadikan pahlawan film ini karena ia akhirnya tahu apa yang harus ia lakukan setelah selama ini ia hidup dalam kerapuhan dan rasa bersalahnya. Nama pasar pun berganti menjadi Pasar Soleh dan toko tempat Menuk bekerja yang sudah menjadi milik Ping Hen pun berganti aliran menjadi restoran halal setelah Ping Hen juga berganti keyakinan. Mungkin Soleh mati tidak sia-sia, tapi film ini berakhir dengan sia-sia karena seperti menyingkirkan keharmonisan perbedaan yang mencoba dicapai di awal film.
Dua realitas bertabrakan yang dipertanyakan pada awal film sampai sekitar 2/3 film ternyata tidak ada yang dimenangkan dalam film ini karena justru film ini diakhiri dengan mimpi. Mimpi bahwa pada akhirnya semua kondisi akan harmonis ketika seseorang bisa membuat pilihan untuk menjadi seragam atas kemauannya sendiri.