Dji Sam Soe dan Es Jeruk Nipis

Ini sebuah tulisan yang hendak dipersembahkan kepada siapa-siapa tanpa maksud apa-apa. Yang saya persembahkan, pasti merasa tulisan ini berlebihan, hehehe. Kalau begitu, anggap saja ini satu hal random yang iseng-iseng saya lakukan.

Ini tulisan tentang seseorang yang jadi idola dan inspirasi saya sepanjang masa. Hahaha. Dari saya pertama kali bertemu doi, saya masih pakai putih abu-abu dan sampai dibikinin label khusus ‘tukang bolos’ dan si bocah-di-bawah-umur. Dari saya masih ‘ketutup’ sampai sekarang bergumul dengan asap rokok dan alkohol yummy. Dari doi naik mobil VW sabi, naik sepeda, sampai sekarang lebih sering naik taksi. Dari sok-sok bertanya ke e-mail doi yang @centrin.net.id sampai e-mail kerjaan ke e-mailnya yang sekarang. Namun, masih aja doi gemar Dji Sam Soe dan Es Jeruk Nipis!

Dari doi, saya belajar terlalu banyak. Dari memisahkan urusan personal dengan profesional dengan bijak. Dari bagaimana mengerjakan apa yang bisa dikerjakan. Sampai belajar untuk nggak gampang menyerah dan kesempatan untuk belajar film programming. Doi juga yang akhirnya mengingatkan pada usia ke-20 saya, (well, nggak secara langsung, sih :]) bahwa saya terlalu sering main-main loncat ke sana dan kemari tapi (sebenarnya) enggak ngapa-ngapain. Doi juga yang jadi ikon saya kalau be a dreamer bukan berarti nggak bisa bikin itu jadi terwujud, asalkan usahanya nggak setengah-setengah. I learn the meaning of ‘work hard, play hard’ from her! Hehehe, and the meaning of being humble. Terlalu banyak yang saya pelajari dari doi sejak tahun 2007 sampai sekarang dan masih akan terus bisa banyak belajar.

Well, good luck dan sakses terus untuk studinya ya, Mba! Terima kasih sudah terlalu sering berbagi (baik teh botol maupun info-info dari A-Z)! Semoga kita bisa bersama-sama terus berjuang untuk kesenian dan kehidupan. #halah

 

Adieu, salam sabi! \m/

Penjara Malam Minggu

Kita bermalam minggu di penjara.

Kita dipenjara pada malam minggu.

 

Dipenjara kemacetan.

Dipenjara gemerlap semu.

Dipenjara kapitalisme.

Dipenjara konsumerisme.

Dipenjara mall.

Dipenjara keluarga.

Dipenjara kerinduan.

Dipenjara pekerjaan.

Dipenjara drama.

Dipenjara kicauan.

Dipenjara ritual.

Dipenjara pasar malam.

Dipenjara ambiguitas.

Dipenjara nafsu.

Dipenjara kesunyian.

dan..

Dipenjara malam minggu itu sendiri.

 

Kita bermalam minggu di penjara.

Kita dipenjara pada malam minggu.

(on my very last night at Kelapa Dua no. 91, June 25th 2011)

June, I Found You! (Juni 2011)

Hello, my lovely morning nicotines :)

I’m not so good at compromising. When I hate a subject, I hate it ’till death. Alhasil, so far baru kelar sampai bab 4.1. and I don’t care.

“Ngedeskripsiin objek penelitian sesusah ngedeskripsiin perasaan aku ke kamu.”

You forgot the first rule of remake: Don’t fuck with the original.” – Sidney Prescott (Scream 4, 2011)

| A: “Lagi apa?” | B: “Lagi grow up and do some shit.” |

Maybe to love is when you stop theorizing.”

Have you ever in condition like you want to change something you shouldn’t?

“Alhamdulillah, hari ini merasakan bagaimana ‘beribadah’ di salah satu gereja :)”

“Cuma gara-gara nulis ‘GKI Gading Serpong’ di status BBM dan gak berjilbab lagi, teman SMA gue mikir gue gak muslim lagi. *speechless*”

Would you like to lie beside me, spend our cigarettes, and watching how the smokes beautifully gone? We keep silent but holding hand still.

“Perut sakit dan perih gara2 makan kripik maicih jam 5 pagi sambil baca bahan UAS :'( Lebih perih dari luka hati, nih.”

I never ‘love’ someone like this before :)”

“Sekuat-kuatnya orang, kalau sendirian nggak akan pernah cukup.” – It Could Have Been a Perfect World di Future Shorts

“Saat ini kita sedang akrobat, dari apa yang ada menuju apa yang kita inginkan.” – Budi Darma

“Matahari itu tidak bisa dikejar. Menulis yang sempurna juga tidak bisa dikejar, tetapi mungkin bisa dilakukan.” – Budi Darma

“Because I think I’m in danger, of falling in love with you..” – Kyle (Beastly) #eaaa

You make my everyday is like sunday :)”

“Makin sayang.. tapi dari jauh aja, deh :) Sleep tight! Hear the moon singing and saying good night :)”

“Tuhan bersama mahasiswa deadline.”

 “Bahkan nunggu render-an video lebih pasti daripada nunggu kamu menoleh ke aku.”

Eight notes funk! I will play you someday and I will remember today every time I’m playing you.”

“Kalau udah ngegebet selama tiga tahun dan selama itu dia punya tiga gebetan dan sekali jadian, it means he’s just not that into you :)”

“Galau dan gombal adalah sarana saya berlatih membuat analogi. #alibi

I’m just too exhausted to be sentimental this time.”

Is there any differences between fragile and sentimental?”

“Orang kalau berusaha jaga perasaan orang lain tapi sebenernya nggak mau malah bikin gemes ya.”

“Orang tegas suka nyebelin tapi kerjaan beres.”

“Obsesi punya kakak perempuan. Thanks God, I have ones :) Dari ciciw sampai kakak sampai yang gak ada sebutan, semuanya baik dan perhatian :)”

“Engkoh-engkoh penjual bubur maknyos: pakai kaos santai udah bolong tapi abis jalan-jalan ke Taiwan, broh!”

“Betapa sebuah karya visual dapat dimaknai secara beragam dan betapa mudahnya kita terjebak.”

Relevansi Masa Lalu dan Kini

Setelah kemarin mengutak-ngatik blog untuk tugas akhir, hari ini saya menemukan kembali kegembiraan mengutak-ngatik blog pribadi ini. Ditambah lagi mungkin berakhirnya semester enam, seharusnya lebih banyak waktu bagi saya untuk lebih produktif. Saya sedang mencoba, semoga saja.

Hari ini iseng-iseng mengetik nama saya dalam kolom search engine Google. Lalu, ada satu link yang menarik yakni link blog teman SMA saya yang sudah lama tidak bersua, Alia Prawitasari. Terbuka lah gambar di bawah ini.

Saya merasa lupa pernah menulis itu. Sudah lama ternyata. But well, apa yang tertulis di situ sangat relevan dengan apa yang saya rasakan kini. Saya bisa begitu tertarik dengan seseorang yang begitu sentimentil dan ‘terluka’ karena ditinggalkan. Bahkan, saya bisa jatuh cinta dengan seseorang karena ke-melankolia-annya. It feels bad, and i don’t want anyone else feels how bad it is.

Ternyata saya belum banyak berubah. Hanya saja saya jadi berpikir betapa naifnya saya berharap bahwa tidak ada orang yang terluka dan merasa sendirian. Betapa naifnya ada keinginan untuk mengubah seseorang agar ia lebih kuat. Well, ternyata  bukan kebahagiaan aja yang riil ketika berbagi. Rasa sakit dan perih juga only real when shared.

Thanks, Al, for reminding me something. It feels good when you found someone out there feels the same way, too. Berbagi ‘kerapuhan’ bukan untuk berbagi the ungrateful feelings, cuma saja itu jadi cara untuk tetap bertahan. To admit that we’ re not strong enough. And no one can change you, except yourself. Persoalannya cuma seputar izin sang waktu.

Jadi, relevansi masa lalu dan kini adalah repetisi perasaan yang sama dengan definisi yang berbeda karena ada revisi sehingga terus diperbaharui. Mungkin seperti skripsi. Sekian.

Tanda Tanya: Yang Personal dan Yang Komunal

Siapa yang tidak mengenal Indonesia karena keberagamannya? Agama, suku, etnis, adat istiadat, bahasa, dan juga beberapa produk budaya lain yang ada di Indonesia tidak hanya satu, tidak monoton, tetapi begitu banyak sampai-sampai tidak mudah bagi kita untuk menghafalnya satu per satu. Namun, keberagaman yang bisa ‘dibanggakan’ itu dipertanyakan dengan beberapa kekerasan atas nama agama yang terjadi belakangan ini atau terorisme atas nama jihad. Dua kondisi ini seolah menjadi dua realitas yang paradoks. Di satu sisi, perbedaan itu realitas yang tak dapat dihindari apalagi di’musnah’kan. Sedangkan, kekerasan atas nama agama juga bukan sebuah kisah fiksi. Maka kemudian kehadiran film ‘Tanda Tanya’ (2011) seolah-olah mempertanyakan, realitas mana yang sebaiknya dipilih?

Kedua realitas ini ditampilkan dalam film, seolah berebut menjadi juara agar dipilih. Dibuka dengan shot tempat ibadah dari agama berbeda yang diambil dalam diam dan diiringi nuansa musik berlainan yang mewakilkan ‘karakteristik’ masing-masing agama tadi. Setelah menikmati manisnya perbedaan lalu kita dibawa pada adegan penikaman seorang pendeta yang sedang menyambut umat-umatnya datang ke gereja. Di sini ‘tanda tanya’ pertama muncul.

 

Ekstrim

Perbedaan-perbedaan di film ini sendiri ditampilkan secara ekstrim. Menuk (Revalina S. Temat), seorang muslim yang bekerja di restoran milik Tan Kat Sun (Hengky Solaiman), seorang keturunan Tionghoa, di mana restoran tersebut menyajikan daging babi sebagai menu masakannya. Toleransi di sini digambarkan dengan keramahan Tan Kat Sun dan istrinya terhadap Menuk (yang ke-Islam-annya ‘diperkuat’ dengan memakai jilbab), mempersilakan Menuk sholat ketika waktunya, serta membedakan perangkat masak-memasak yang digunakan untuk memasak makanan yang memakai daging babi dan mana yang tidak.

Persoalan Rika (Endhita) juga digambarkan tidak kalah ekstrimnya. Ia berpindah agama, dari Islam ke Katholik, setelah berpisah dari suami yang ingin mempoligaminya. Namun, ia tinggal dengan anaknya yang tetap muslim. Perbedaan ekstrim lainnya tergambar pada pilihan Surya (Agus Kuncoro), seorang aktor yang selalu menjadi figuran, ketika mendapatkan tawaran untuk berperan sebagai Yesus, aktor utama, dalam drama paskah sebuah gereja, padahal ia seorang muslim.

Perbedaan yang ekstrim ini seperti sengaja dikondisikan sedemikian rupa untuk mempermudah penonton bersentuhan langsung dengan perbedaan yang menjadi tanda tanya utama dalam film ini. Ibaratnya, konflik dalam film ini tidak muluk-muluk membawa pada konsep perbedaan yang abu-abu dan multi-interpretasi, tetapi perbedaan yang mencolok, yang hitam dan putih. Dengan perbedaan yang tampil ekstrim, maka seharusnya lebih mudah untuk menyeret penonton konflik para tokoh karena gesekan-gesekan perbedaan itu terus terjadi hampir di sepanjang film.

Walaupun begitu, hal ini harus dipertimbangkan secara hati-hati karena justru bisa menjadi jebakan-makan-tuan jika representasi perbedaan secara ekstrim ini diambil hanya dari simbol-simbol konvensional. Bahkan akan jadi cenderung normatif. Apa iya semua muslim tidak memakan babi? Atau dari yang paling sering dibicarakan, apa iya semua muslim memakai jilbab? Jika tidak ada rumus untuk mengembangkan representasi-representasi tadi secara visual, maka selamanya akan terjebak dalam simbol-simbol konvensional tadi.

Namun dalam film ini, hal tersebut tertolong dengan menempatkan simbol-simbol konvensional dalam gambar adegan tertentu yang ‘menampar’. Seperti bagaimana kamera bergerak menyorot istri Tan Kat Sun yang sedang beribadah dengan hio lalu beralih ke Menuk yang berjilbab dan sedang membereskan sajadahnya. Atau shot gambar Rika yang mencoba membujuk anaknya yang mengunci diri di kamar karena marah padanya akibat telat menjemputnya di langgar seusai mengaji. Kamera bergerak dari menangkap ekspresi kesedihan dan kebingungan Rika ke gambar kaligrafi bertuliskan ‘Allah’ di pintu depan kamar Abi, anaknya.

 

Personal dan Komunal

Yang juga menjadi tanda tanya lainnya dalam film ini adalah bagaimana memposisikan keyakinan itu sendiri. ‘Tanda Tanya’ menjadikan tokoh-tokoh protagonisnya adalah tokoh yang bisa memposisikan agama sebagai pilihan yang personal dan dijalankan secara personal pula. Rika, yang memutuskan pindah agama dan menyatakan bahwa keputusannya itu diambil atas pilihannya sendiri. Walaupun begitu, saat ditanya oleh Romo siapa Tuhan baginya, ia tidak bisa mengelak bahwa Tuhan yang ia kenal adalah yang Ar-Rahman, Ar-Rahim, dan istilah lainnya yang ia kenal.

Atau ketika Menuk mencoba mengingatkan suaminya yang keburu mengeneralisasikan ‘Cina’ ketika Ping Hen (Rio Dewanto) tidak memberikan libur lebaran pada karyawan tokonya. Ia mengingatkan bahwa yang ia dan teman-temannya protes adalah Ping Hen sebagai individu, bukan ia sebagai etnis Cina.

Konflik muncul ketika tokoh-tokoh protagonis ini justru yang paling harus bermasalah karena adanya keyakinan akan kebenaran yang berlaku secara komunal. Seperti beberapa pemuda masjid yang berpapasan dengan Ping Hen dan mengoloknya “Cina!” atau ketika Soleh (Reza Rahadian), suami Menuk, yang menyerbu restoran tempat Menuk bekerja, berdasarkan kebenaran menurut mereka secara kelompok. Atau konstruksi berpikir seorang ibu yang berujar, “Kalau jual buku agama, pasti lebih laku.” yang membuktikan bahwa ada kebenaran komunal yang diproduksi sehingga menghilangkan ruang untuk ‘kebenaran pribadi’ dan pilihan ‘personal’. Atau bagaimana Abi merasa tertekan dengan olok-olok teman-temannya tentang ibunya yang ‘memilih’ agamanya sendiri.

Walau demikian, posisi tokoh agama dalam film ini justru dihadirkan sebagai pihak yang memoderasi perbedaan-perbedaan ini. Seperti Ustad yang menganjurkan Surya untuk memilih sesuai kemantapan hatinya atau Romo yang justru melerai ketika ada keributan dari jemaahnya yang memprotes peran Yesus diperankan Surya yang beragama Islam. Bisa dibilang ini cara aman sekaligus untuk menyampaikan pesan-pesan toleransi. Ditambah lagi banser NU di film ini yang sangat toleran dengan tugas mereka menjaga keamanan gereja pada saat paskah.

Namun, sayang sekali menjelang ending, film ini tampak kehilangan pegangannya. Ia seperti tidak bisa mempertahankan secara utuh keharmonisan dari perbedaan yang berusaha ia perjuangkan meski menemukan banyak kesulitan. Pasca kematian Soleh yang disebut-sebut ‘mati syahid’, maka kemudian Soleh dijadikan pahlawan film ini karena ia akhirnya tahu apa yang harus ia lakukan setelah selama ini ia hidup dalam kerapuhan dan rasa bersalahnya. Nama pasar pun berganti menjadi Pasar Soleh dan toko tempat Menuk bekerja yang sudah menjadi milik Ping Hen pun berganti aliran menjadi restoran halal setelah Ping Hen juga berganti keyakinan. Mungkin Soleh mati tidak sia-sia, tapi film ini berakhir dengan sia-sia karena seperti menyingkirkan keharmonisan perbedaan yang mencoba dicapai di awal film.

Dua realitas bertabrakan yang dipertanyakan pada awal film sampai sekitar 2/3 film ternyata tidak ada yang dimenangkan dalam film ini karena justru film ini diakhiri dengan mimpi. Mimpi bahwa pada akhirnya semua kondisi akan harmonis ketika seseorang bisa membuat pilihan untuk menjadi seragam atas kemauannya sendiri.

Lonely Market

When you can buy and sell a loneliness together so you don’t feel lonely alone.

Hmm, it’s my random-self-creation conclusion of ‘Lonely Market’ that held by Ruang Rupa, Jakarta. Mungkin nggak ada hubungannya dengan alasan mengapa acara ini dinamakan seperti itu, tapi ya sudahlah. Berikut oleh-oleh yang dibawa Sophie, kamera saya dari sana, dibantu dengan kecanggihan editan Pola :] Kindly enjoy!

Me Heart Mamamonster at the First Sight :)
Popo is too cool to be fooled!
P o p o !

Berbeda dan Merdeka 100%: Sebuah Kesempatan (1)

Hari ini, 17 April 2011, sebuah gerakan yang menamai dirinya ‘Berbeda dan Merdeka 100%’ mengajak siapapun untuk melakukan aksi-aksi yang ‘menyuarakan’ indahnya keberagaman. Hal ini berangkat dari maraknya kekerasan yang terjadi belakangan ini. Lewat gerakan ini, kita semua diingatkan dan diajak kembali untuk hidup damai dalam perbedaan dan keberagaman.

Saya sendiri akhirnya memutuskan untuk menulis. Menulis tentang diffable dan queer, dua ‘kaum’ yang beberapa kali mendapat perlakuan berbeda hingga kehilangan kesempatan. Namun, tulisan yang pertama ini akan membahas pandangan saya mengenai diffable.


“I am different, but not less.” (Temple Grandin, 2010)


Diffable adalah gabungan kata ‘different’ dan ‘ability’, yang dalam bahasa Indonesia berarti kemampuan berbeda. Istilah ini digunakan untuk ‘menyebut’ individu yang memiliki cara tertentu dalam melakukan aktivitas fisik maupun mental dikarenakan kondisi mereka yang ‘berbeda’ dari umumnya. Istilah ini berkembang dari sebutan ‘penyandang cacat’ (disable) sampai ‘orang-orang berkebutuhan khusus’ dan sejauh ini istilah diffable yang dianggap sebutan yang paling non-diskriminatif meski masih memunculkan perdebatan. Yang jelas, banyak yang masih memperjuangkan penggunaan istilah diffable ini dan mengganti konsep ‘cacat’ tadi.

Mungkin sebagian besar dari kita pernah bilang, ‘gue udah nggak diskriminatif kok sama teman-teman gue yang difabel.’ Namun, tak sedikit pula yang tanpa disadari masih ‘membatasi’ mereka dengan rasa kasihan. Mengapa rasa kasihan ini menjadi membatasi? Karena tanpa disadari, kita masih menganggap mereka ‘kurang’ karena ‘tidak memiliki’ tangan, kaki, tidak bisa mendengar, melihat, dan lainnya. Kita memandang mereka dengan kaca mata kita yang sehari-hari bisa berjalan, bisa menggenggam dengan jari-jari, bisa mendengarkan musik, bisa melihat warna-warni bunga (atau ‘stereotype’ wajah ganteng/cantik model idola kita di papan reklame pinggir jalan). Padahal, mereka lebih butuh kesempatan untuk bisa menemukan dan melakukan hal yang mereka inginkan dengan cara mereka sendiri dibandingkan rasa kasihan kita yang membatasi.

Saya jadi ingat, pernah mewawancarai seseorang yang kehilangan kemampuan mendengarnya akibat overdosis antibiotik. Keinginannya untuk kuliah sempat ‘dibatasi’ oleh pernyataan dokternya bahwa ia tidak apa-apa tidak kuliah karena nanti akan membuatnya kelelahan. Saya menggarisbawahi adanya estimasi yang ‘merendahkan’ di situ. Mungkin sang dokter kasihan, takut ia tidak bisa mengikuti pelajaran. Nyatanya, seseorang ini sekarang sudah menyelesaikan S2-nya di bidang Komunikasi dan bekerja sebagai Public Relation di sebuah perusahaan. Satu hal yang saya kagumi darinya, ia pernah bilang, mungkin ia tidak bisa menonton televisi, tidak bisa mendengarkan radio, tapi ia mengoleksi ilmu dan pengetahuan dari buku. Yang dari contoh ini, saya membuat kesimpulan, ia memang ‘terbatas’ untuk hal-hal tertentu, tetapi bukan berarti ia tidak bisa mendapatkan yang ia mau. Prinsip ‘ada banyak jalan menuju Roma’ mungkin yang paling tepat menggambarkan bagaimana ia mencari cara-cara tertentu untuk ‘menyiasati’ cara yang tidak dapat ia tempuh.

Begitu juga dengan para seniman tuna netra atau seniman yang melukis dengan kaki atau mulutnya. Kita bisa saja sekedar berbelaskasihan, “Duh, kasihan ya. Gak kebayang nggak bisa ngelihat apa-apa.” “Duh, kasihan ya rasanya susah banget untuk jalan.” Namun, kenalkan mereka dengan kuas, kenalkan mereka dengan cat, kenalkan mereka dengan benda-benda sederhana, kenalkan mereka dengan dunia, penuhi apa yang mereka ingin ketahui, yang memang butuh ekstra keras dan cara tertentu agar mereka paham. Namun, hal tersebut justru bisa membuat mereka bermakna, karena hanya dengan cara itu, kita menjadi tahu bahwa mereka punya cara luar biasa yang tak pernah kita pikirkan sebelumnya.

Mungkin mereka hidup dengan cara yang ‘berbeda’ dari kita, dengan cara yang tak bisa kita bayangkan. Namun, ketika kita tidak bisa membayangkan bahwa mereka bisa ‘normal’ dengan ‘keterbatasan’ lantas kita menjadikan mereka harus sesuai dengan bayangan kita. Mereka cuma butuh kesempatan, bukan rasa kasihan. Dengan ‘perbedaan’ ini, kita justru bisa saling belajar bersyukur dan makin memahami makna sebuah kesempatan, kerja keras, dan cinta. Dengan ‘perbedaan’ ini, kita justru belajar tentang keluarbiasaan dan harapan. Dengan ‘perbedaan’ ini, kita jadi punya banyak cerita beragam yang indah dan bikin kejutan-kejutan sehingga hidup ini penuh dinamika dan tidak monoton layaknya warna-warni kembang api.

Hellen Keller telah membuktikan. Hee Ah Lee telah membuktikan. Temple Grandin telah membuktikan. Gus Dur telah membuktikan. Namun, masih banyak teman-teman lain yang masih perlu kesempatan. Merdeka-kan mereka dari tekanan dan ketidaktahuan karena ‘perbedaan’ mereka.

kindly check:

http://difablr.tumblr.com/page/5

http://tobytall.wordpress.com/2010/03/02/d-i-f-f-a-b-l-e/#comment-1013

Drum Lesson

Terima kasih atas sakit hati, karenanya, saya bertemu dengan Drum.

September 2010. Itu kali pertama saya secara resmi mengikuti kelas Drum di Gilang Ramadhan Studio Drummer (GRSD) Gading Serpong. Setelah di bulan sebelumnya saya secara random menyatakan keinginan untuk bisa bermain drum dan kemudian secara kebetulan pula saya dipertemukan dengan GRSD. Dari ikut trial class sampai akhirnya saya benar-benar berniat mengikuti kursus dengan biaya les dari uang saya sendiri.

Kelasnya cukup menyenangkan. Yang tidak bisa saya lupakan adalah saya yang paling besar (baik secara ukuran badan maupun takaran usia) di antara teman-teman yang lain, dan satu-satunya perempuan di kelas. Instruktur saya dipanggil Kak Reza, orangnya cukup pengertian dan memotivasi serta baik dalam memberikan pengarahan. Sabar tentunya dalam menghadapi saya yang suka kesulitan. Dari Groove 1 lalu ujian sampai sekarang saya masih di tingkat Groove 2. Akhir April ini saya hendak ujian, mohon didoakan!

Selain hal-hal menyenangkan dan juga sensasi memukul drum, di latihan terakhir, Sabtu, 9 April 2011 lalu, saya justru menyadari beberapa hal dari hasil kelas Drum saya. Bukan filosofi-filosofi tertentu mengenai drum, beat, atau pukulan-pukulan tertentu, melainkan lewat kelas hari itu, saya seolah membuka lapisan diri saya sendiri. Ya, mengenali diri saya sendiri. Lewat kelas hari itu, saya menyadari bahwa saya ini orang yang mudah sekali terdistraksi (tidak fokus) dan pesimis.

Mengapa saya jadi tahu bahwa saya mudah sekali terdistraksi? Dalam bermain drum, perlu ada tempo yang dijaga dan ‘rumus’ pukulan tertentu yang kita lakukan berulang-berulang. Untuk menjaga kedua hal tersebut menjadi sebuah rhythm yang teratur dan dinamikanya terjaga, maka harus konsentrasi penuh. Saat latihan kemarin, saya diminta sticking7 strokes‘ untuk membiasakan pukulan tersebut. Namun, beberapa kali saat mulai bisa memainkannya, pukulan saya bisa langsung kacau atau berhenti cuma karena mendengarkan suara lain atau mendengar kakaknya mencoba menirukan suara pukulannya. Ada kesulitan untuk menjaga stabilitas pukulan saya dalam waktu yang lama karena begitu terdistraksi dan konsentrasi lepas, saya seperti kehilangan ritme yang sudah saya temukan.

Begitu juga di kehidupan saya selama ini. Saya mudah sekali terdistraksi dari satu bidang yang sedang saya tekuni. Begitu ada hal lain yang sepertinya lebih menarik, maka saya menjadi kehilangan ritme ketekunan terhadap hal yang lama tadi. Tidak heran kalau saya sekarang tumbuh sebagai mediocre. Niatnya ingin tahu sedikit tentang banyak hal, tetapi saya jadi tidak tahu apa-apa tentang banyak hal. Maka dari itu, sepertinya di usia ini saya mau mencoba menemukan fokus atau kembali mengingat hal-hal yang sudah pernah saya coba dan tekuni, lalu mencoba membuat pilihan, mulai saat ini.

Kedua, saya sadar saya sangat pesimis. Terkait dengan distraksi tadi, saya seringkali berhenti saat memukul, because i can’t barely hear my own beats. It’s like i don’t believe in all the beats i made. Padahal jelas sekali bahwa satu-satunya yang memegang stick drum dan sedang melakukan pukulan-pukulan adalah diri saya sendiri. Entah kenapa, saya seringkali berhenti karena merasa selalu ada yang salah dengan pukulan-pukulan itu karena saya seperti tidak bisa mendengarkan suara pukulan saya sendiri.

Dan tidak ada kata yang lebih tepat menjadi analogi kehidupan saya selain inferior. Saya jadi ingat, dulu waktu kecil saya diikuti kursus les renang. Pada saat lomba, saya harus berenang dua kali 50 meter. Saya sudah merasa tidak sanggup duluan sebelum berlomba dan takut kalah, sehingga pada akhirnya saya menyerah hanya dengan menyelesaikan satu kali 50 meter dan didiskualifikasi. Saya masih ingat, Ibu saya membandingkan saya dengan teman lain yang usianya lebih muda dan badannya lebih kecil, “Tuh, lihat dia. Walaupun selesainya jauh paling terakhir (dibanding peserta yang lain), tetapi dia berenang sampai selesai.”

Saya rasa saya harus lebih banyak menemukan ‘diri’ saya lagi.  Sudah saatnya merasakan gagal berkali-berkali, bukan menyesal karena menghindarinya dan tidak tuntas. Mencoba menemukan kepercayaan diri lagi. Tidak perlu lebih, setidaknya cukup untuk membuat saya bisa melakukan sesuatu, sampai selesai, meski nilainya jauh dari sempurna.